5| Start All Over

6 0 0
                                    

      "Kanira, cepat sedikit." Aku mengangguk. Ibu pergi meninggalkan ku di tengah ruang keluarga.

     Hari ini, kami akan pindah. Setelah dua tahun semenjak Dillon pergi, aku murung. Tidak seperti biasanya aku bersikap. Setiap selesai home schooling, aku pasti mengurung diri dikamar.

     Setelah hasil ujianku keluar, ayah dan ibu memutuskan untuk pindah ke Batam. Tempat dimana aku dilahirkan dibumi ini. Mungkin, pikir ayah dan ibu jika aku bertemu teman lamaku, aku akan lupa kejadian yang menimpaku pada 2 tahun ini.

     Aku melihat seluruh inci ruangan rumah yang sudah cukup lama aku tempati. Aku memutar memoriku lagi. Diruang keluarga ini, biasanya aku bermain dengan Dillon. Di dapur, tempat biasanya aku memasak ditemani Dillon.

     Aku meninggalkan satu figura fotoku bersama Dillon. Jika Dillon memang kembali, Dillon akan bisa melihat foto itu. Aku harap, Dillon akan mengingat ku selalu.

     "Kanira, cepat. Kita akan terlambat." Ibu kembali menyusul ku. Terpaksa, aku melangkah keluar. "Tidak apa-apa. Ibu mengerti. Pasti ini berat untuk kamu. Ibu dan ayah hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu." Aku hanya tersenyum. Lalu masuk kedalam mobil.

     Bandara Ir. Soekarno tampak ramai. Memang ini adalah hari libur panjang. Aku menyeret koper biru lautku. Memang berat, aku harus meninggalkan semua kenangan yang sudah aku bangun bersama Dillon. Tapi, jika ini adalah yang terbaik untuk aku, aku akan berusaha untuk menerimanya.

Sebelum pesawat Garuda yang akan melepas landas, aku mematahkan sim cardku. Berharap, dengan ini, aku bisa lebih tenang. Dengan semua ini, aku akan menjalani hidupku dengan normal.

Di Bandar Udara Internasional Hang Nadim pun sama. Tampak ramai. Aku kembali menyeret koper biru laut. Ayah dan ibu sibuk menelpon keluargaku yang berada disini. Aku terlebih dahulu membeli sim card, lalu memesan kopi latte yang berada disebelah konter.

"Eh, lo, Kanira, kan?"

Setelah memesan kopi latte, aku menyusul ayah dan ibu. Baru beberapa langkah keluar dari cafe, aku dihampiri oleh cowok. Memakai hoodie, jeans robek, dan memakai kaca mata hitam.

"Iya. Siapa, ya?" Tanyaku bingung. Sebenarnya, aku tahu siapa cowok dihadapanku ini. Aku hanya berpura-pura tidak mengenalinya.

"Gue penjahat. Mau nyulik, lo." Lelaki itu berkacak pinggang.

Aku tersenyum. "Hai, Sean. Apa kabar?"

Sean tertawa. "Gue kira, lo nggak ngenalin wajah ganteng gue. Wahh, ternyata benar, ya kata bibi. Lo semakin cantik."

"Apaan sih, Sean. Jelaslah, aku kenal. Omong-omong, kamu ya, yang jemput."

"Sebenarnya, gue ogah jemput lo. Tapi karena sahabat kecil lo ini penasaran banget liat lo secantik apa, jadi gue jemput lo, deh." Alis Sean bergerak ke atas bawah.

"Oh, jadi kamu kepo sama muka aku." Sean mengangguk. "Yaudah, sekarang, kita susul ayah sama ibu."

     "Ayah, ibu. Tebak, siapa ini?" Tangan ku menepuk pelan bahu Sean.

     "Emm, Sean, bukan?" Jawab ibu. Sean mengangguk. Lalu mencium tangan ayah dan ibu.

     "Udah besar kamu Sean. Padahal baru kemarin kayaknya kamu ngusilin Kanira sampai nangis." Mereka tertawa, sedangkan aku hanya menatap malas. Jika sudah membicarakan masa lalu, pasti hanya aku yang diledekin.

"Udah-udah, ayo pulang. Biar cepat beres merapikan barang-barangnya." Kata ibu mengakhiri obrolan yang menurut mereka seru.

Rumah yang kutempati sewaktu kecil masih sama. Hanya saja, tanaman hias yang memenuhi halaman lebih lebat dari pada dulu. Catnya pun, aku tebak, ini cat baru. Terbukti dari bau cat yang masih melekat pada dinding rumah. Perabotan rumah pun diganti yang lebih modern tetapi klasik. Sesuai dengan tipe kesukaan ibu.

OPACAROPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang