4| Farewell

11 0 0
                                    

Aku harus pulang. Aku harus mengakhiri cerita ini. Sekarang, aku pulang menuju rumah. Entah mengapa tak ikhlas meninggalkan banyak kenangan disini. Rasanya sama seperti dia tahun lalu. Hatiku begitu sesak. Tak ikhlas. Tidak rela. Hanya untuk melepasnya. Bahkan, dia mungkin hanya menganggap ku sebagai teman perempuan.

Aku menghembuskan napas berat. Aku harus bertanggung jawab. Aku yang memulai cerita ini, aku juga yang harus mengakhiri cerita ini.

Setelah aku sampai dirumah, aku langsung mengemasi semua barangku. Termasuk foto-foto itu. Sudah beberapa kali ibu menyuruh ku untuk membuangnya. Tetapi, bagiku ini adalah salah satu kenangan. Aku tidak rela membuang foto itu. Bahkan, aku juga tidak rela membuang komik lusuh yang sudah aku sampul kembali dengan sampul baru. Mungkin, bagi ibu, dengan aku membuang semua barang yang menyangkut dirinya itu bisa membuatku lupa. Tetapi itu tidak. Tidak sama sekali. Aku akan terus mengingatnya. Sampai kapanpun.

"Hallo, Kanira." Sapa Dillon dengan senyum manisnya.

Aku yang sedang menutup gerbang tersenyum dengan sapaan dan senyum manisnya. "Hallo juga, Dillon."

"Ayo, jangan sampai telat. Bapak satpam sekolah, kan galak."

Lagi-lagi aku tersenyum. Bisa ditebak, Dillon sedang senang hari ini. "Kamu kenapa? Kok berubah ceria banget."

"Kan hari ini lo perdana buat kesekolah kita. Ya kan, harus ceria."

Aku tertawa mendengarnya. Apakah sebegitu senangnya Dillon melihatku pertama masuk kesekolah.

"Yaudah, ayo kita berangkat. Tapi jangan ngebut, ya Dillon. Aku nggak suka." Kataku yang sedang memakai helm dibantu Dillon.

Dengan gerakan sigap nan cepat, Dillon memberi hormat. "Siap, laksanakan. Ratu Kanira." Aku tersipu malu mendengar jawaban Dillon.

Benar. Dillon mengemudikan motornya dengan sangat hati-hati. Sekarang, kit berdua sudah sampai diparkirkan motor sekolah. Ramai. Itu adalah satu kata yng menggambarkan sekolah pada hari ini. Ini adalah ujian pertama di sekolah menengah atas bagiku.

Aku sudah mendapat kartu test dari guru pengajarku. Aku hanya perlu melihat mading untuk pembagian ruangan kelas, lalu mencarinya.

"Yaudah, yuk. Kita ke mading." Tiba-tiba Dillon menggandeng tanganku. Aku sedikit terkejut. Tapi hanya sebentar, sebelum aku ditarik oleh Dillon menuju mading sekolah.

Disana, sudah ada banyak murid yang ingin mengetahui dimana ruang mereka berada.

"Oh, ini, nih Lon. Yang lo ceritain kekita. Cantik juga. Bukan, bukan. Cantik banget malah. Dapat dari mana, lo?." Kata slah seorang cowok berambut keriting.

Dillon berhenti didepan sekerumunan cowok. Dillon mengeratkan genggamannya. Jantungku tidak berhenti berdetak sangat kencang.

"Dapet dari surga. Mau apa, lo. Berani deketin dia awas, ya."

"Yaelah, bercanda kali. Lo dapat diruang biasa, kok." Kata cowok berambut keriting lagi. Dillon mengangkat jempolnya. Lalu kembali berjalan menuju mading.

Aku hanya diam. Tak tahu harus mengatakan apa. Aku menurut pada apa yang dilakukan Dillon. Lagian, ini adalah hari pertama ujianku. Jadi, aku tidak mau materi yng sudah aku hapal benar-benar, hilang begitu saja.

Setelah mengetahui ruanganku, Dillon bersikeras untuk mengantarku. Sementara aku, aku hanya ingin belajar mandiri agar tidak bergantung pada orang lain.

OPACAROPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang