2| Twilight Hill Lake

19 0 0
                                    

     Sekarang, aku berada dijembatan danau bukit senja. Aku dapat melihat ikan nila yang sudah siap untuk disantap menjadi nila bakar. Makanan kesukaan ibu.

     Aku tersenyum membayangkan wajah ibu yang  sedang menyantap nila bakarnya itu. Aku dapat melihat kursi dimana kursi itu adalah tempat pertemuan pertama kita.

    Disana terdapat dua anak kecil dengan jari kelingking yang saling bertautan. Kejadian itu mengingatkan ku kembali. Membuat tanganku meremas ujung kaos yang aku pakai saat ini.

     "Kanira, kenapa lo ngehindar dari gue terus?"

    Pertanyaan yang Dillon lontarkan membuat lidah dan tubuhku membeku seketika.

     Aku berusaha terlihat setenang mungkin. "Nggak papa, kok. Aku cuman banyak tugas. Kan setengah semester lagi aku ujian." Syukurlah aku tak gugup menjawabnya.

     "Tapi lo nggak biasanya kayak gini. Apa ada perkataan gue yang salah. Kalo iya, ngomong ke gue. Gue nggak mau nyakitin lo. Gue sayang sama lo."

     Aku tertegun dengan jawaban Dillon. Aku menatapnya. Dalam. Seakan aku ingin masuk kedalam bola mata se coklat madu itu.

     "Maafin gue ya, kalo ada salah. Please."

     Permohonan itu yang tidak bisa aku tolak. Aku ingat sekali, sangat ingat. Betapa tulusnya ucapan Dillon pada waktu itu.

     "Oke. Aku maafin kamu. Tapi ada satu syarat."

     Wajah Dillon berubah senang. Ada binar di matanya. Aku lihat itu. Binar yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

     "Buat lo apa, sih yang nggak gue lakuin."

     Aku tersenyum lebar. "Kan setengah semester lagi aku ujian. Aku belum paham sama pelajaran IPA. Nah, kamu kan katanya pintar pelajaran itu. Aku mau dong, diajari."

     "Cuma itu?" Aku mengangguk cepat. "Oke. Asal lo nggak ngambek lagi."

     Dillon mengangkat jari kelingkingnya lalu menautkan ke jari kelingkingku. Jantungku berdegup sangat kencang. Kencang sekali.

     Mulai dari situ, aku sering main ke rumah Dillon. Dan Dillon juga sering main ke rumahku. Kita semakin dekat. Aku semakin dekat dengan Mami Reny, dan Dillon juga semakin dekat dengan ayah ibu.

     Disaat hari pengumuman kelulusan sekolah ku tiba. Aku gugup. Aku takut nilai yang aku janjikan pada Dillon tidak sesuai harapan kami berdua.

     Bukannya sombong, aku tak meragukan nilai matematika, inggris, dan bahasa indonesia ku. Tapi itu memang benar terjadi. Nilai ketiga kapel itu selalu diatas rata rata.

     "Gimana?" Sehabis pulang dari sekolah aku langsung disambut oleh Dillon.

     Mapku terdiri dari 4. Dan di masing masing map terdapat nilai ujian yang terpisah. Aku sama sekali belum membuka map pada mapel IPA.

     "Belum aku buka." Dillon langsung mengambil map dari tanganku.

     Ketika sudah dibuka, wajah Dillon berumah masam. Aku menghela nafas. "Aku udah tebak, kok. Pasti jelek, ya?"

     Aku terduduk lemas di kursi. Dillon pasti kecewa. Dia sudah merelakan setengah waktu belajarnya hanya untuk mengajariku.

     "Liat dulu baru bisa berasumsi. Jangan nethink dulu jadi orang. Nih." Aku menerima kertas dari Dillon.

OPACAROPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang