Mada

66 9 4
                                    

Pukul sembilan pagi, Mada baru keluar dari kamarnya, dengan langkah gontai menuju ke meja makan untuk menemui ibunya.

"Pagi mamah." Sapanya sambil tangannya meraih sepotong roti di atas meja lalu memakannya.

Ibunya yang tengah memasak di dapur lalu berjalan menuju meja makan.

"Silimit pigi mimih." Arina~ibu mada memanyunkan bibirnya. "Masih hidup ternyata kamu, mama kira udah nggak ada soalnya di siram pake air nggak ngaruh tadi." Lanjutnya lalu duduk di hadapan Mada.

"Jahat banget, Mada kan capek abis belajar tadi malem sampe ketiduran." Jawab Mada mencoba mencari alasan.

"Mending gausah belajar kalo gitu, percuma malem belajar paginya gak sekolah, mau mama pindahin ke sekolah luar biasa kamu?" Tanya Arina. Dia sebenarnya bosan memarahi Mada hampir setiap hari karena kelakuannya yang tidak pernah berubah dari kecil.

"Hehe maaf deh mamaku yang paling cantik di tujuh lautan, oh iya, ayah kemana?" Tanya Mada dengan mulut masih penuh mengunyah roti.

"Nggak pulang lagi, ada kerja katanya." Jawab Arina, rasa kesal dengan Mada juga sudah hilang, kebiasaan anak semata wayangnya ini memang sudah susah di betulkan karena memang sifat jeleknya sudah menjadi kebiasaan. Arina membiarkannya karena semakin di atur maka anak ini akan semakin susah di atur.

"Kerja mulu, padahal kan-" kalimat Mada terpotong ketika terdengar sebuah ketukan dari pintu.

"Madaaaaaaaa, Assalamualaikum ya imamku." Lalu terdengar sebuah teriakan seorang cewek. Arina lalu tersenyum, Mada tidak. "Oh makmum kamu kesini tuh, mau minta mas kawin lagi kali." Arina mencubit tangan Mada lalu pergi menuju dapur untuk melanjutkan memasak, sementara Mada langsung menuju pintu untuk segera menyambut tamunya.

"Ngapain si pagi buta gini ke sini?" Tanyanya langsung pada tamu itu begitu pintu di buka. 

"Di negara bagian mana si jam sembilan di sebut pagi buta?" Cewek itu memanyunkan bibirnya karena kesal melihat sambutan dari Mada.

"Iya deh, terus ada apa kesini?" Tanya Mada lagi.

"Ih jadi gitu kamu nggak suka aku nyamperin kamu ke rumah?" Cewek itu baru akan berbalik sebelum Mada meraih tangannya dan menariknya untuk masuk ke rumah.

"Yaelah gitu doang ngambek, kaya manusia aja." Mada mencubit pipi cewek yang sedang di gandengnya itu.

Dewi, yang sekarang sudah sedang duduk di meja makan rumah Mada bersama dengan Arina, mereka berdua sudah seperti ibu dan anak, Mada juga senang melihat pemandangan di hadapannya ini. Kekasihnya yang sangat manja dengan ibu yang suka mengomel adalah kombinasi yang bagus.

"Udah dua bulan kamu pacaran sama Mada, masih betah apa udah mau putus?" Tanya Arina pada Dewi. 

"Mah, mending jangan coba-coba merusak hubungan kami ya mah." Mada protes mendengar pertanyaan ibunya itu.

"Sebel si kadang tante, dia nggak peka sama kurang perhatian banget tau." Dewi menjelaskan dengan sangat semangat, membuat siapa saja yang melihatnya merasa gemas. "Loh kapan aku gak peka?" Tanya Mada.

"Ih kamu aja gabisa balikin mood aku kalo lagi ngambek." Jawab Dewi dengan matanya yang melotot ke arah Mada.

"Emang kamu lagi ngambek sekarang, hah?" Mada berdiri, mengomel dengan kedua tangan di pinggulnya. 

"Iya, tuh kan ga peka." Dewi memeluk Arina, dia terlihat sangat kesal dengan Mada.

"Loh aku kan nggak ngapa-ngapain kenapa kamu ngambek?" Mada terlihat langsung berpikir, mengulang semua kejadian hari ini, mencoba mencari tahu dimana dia bersalah pada kekasihnya itu, walaupun lama dia berpikir tetap saja dia tidak menemukan letak kesalahan yang membuat Dewi ngambek.

"Aku ngambek gara-gara kamu barusan nggak tau kalo aku lagi ngambek, ih kamu tuh." Dia merengek seperti anak kecil kepada Arina, Arina tertawa dan Mada langsung terduduk lemas.

*****

Di tengah lamunannya, terdengar nada dering panggilan dari ponselnya, dia segera meraihnya lalu segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama orang yang menghubunginya.

"Lo bolos kemana?" Tanya seseorang dari seberang telepon.

"Kok lo tau, Mad?" Deni menyahut.

"Gue tau lo pasti di pepet terus sama si Rama terus nggak tahan dan milih bolos, jangan bundir lo." Mada tertawa di akhir kalimatnya.

"Malah ngetawain, nggak ada ahlak lo emang." Jika sedang berbicara langsung mungkin Deni sudah menoyor kepala Mada, di seberang sana, Mada masih tertawa.

"Mad, gue butuh bantuan lo sekarang." 

To be continued

"Semua judul bagian cerita di ganti jadi pake kata-kata, soalnya males kalo mau nulis lagi harus nyari angka romawinya jadi nggak mau ribet aku tuh." Kata author yang sedang berjongkok di sebuah tempat nan indah bernama kakus.

ANTITESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang