mentok

22 9 2
                                    

"Maksud lo pengurangan populasi manusia gitu?" Tanya Mada pada Deni masih tidak percaya.

Rama juga sama terkejutnya, dia tidak menyangka ada semacam itu di negaranya, sementara Aura menangis semakin menjadi ketika mendengar kata depopulasi.

"Kalau kalian masih mau menuntut keadilan…" Deni menegakkan tubuhnya, menatap ke arah Rama tajam. "Kalian harus melawan hukum dimana hukum sendiri adalah bagian dari organisasi ini." Lanjutnya.

Sudah hampir dua jam mereka bergulat dengan pikiran mereka masing-masing, beradu argumen dengan yang lain dan selalu  mencoba untuk berpikir positif dengan hal yang tidak positif ini.

"Tapi apa penyebabnya ?"

*****


S

ejak satu jam yang lalu Aura sudah meninggalkan cafe dengan menggunakan ojek online, dia mengaku tidak enak badan dan akhirnya memutuskan pulang tanpa bisa menjelaskan apapun, alhasil hanya tersisa tiga orang di meja dekat jendela itu.

"Dengan peningkatan jumlah penduduk di negara kita, yang mayoritasnya dengan ekonomi di bawah standar, udah jelas ini gak bagus buat negara iya gak sih, ya gatau lah gitu pokoknya, gue yang masih suka liatin lampu kulkas pas mati mana tau gituan." Rama berbicara dengan nada yang frustasi.

"Dan begonya, solusinya pemerintah bukan ngebenerin fasilitas bla bla bla untuk nampung populasi yang membludak, tapi malah ngilangin populasinya biar pas sama fasilitas yang pemerintah punya." Sambung Rama, mereka bertiga kembali diam tanpa seorangpun tau mereka sedang bergaduh dingan pikirannya sendiri saat ini.

"Terus?" Setelah hening cukup lama, akhirnya Deni bersuara untuk memecah keheningan tersebut.

"Apa kita berusaha cegah depopulasi ini?" Usul Rama.

Deni dan Mada saling bertatapan, lalu menghela napas panjang. "Gamungkin lah bangsat." Ucap Deni dan Mada bersamaan.

Baru saja Rama ingin membuka mulut untuk melawan cercaan dua adik kelasnya itu, tapi Mada langsung menyelak dengan suara cukup tinggi, "eits, gausah protes deh lo, lo pikir kita ini super saiyan yang bisa keluarin jurus gomu gomu sama bijudama kali, liat tuh ada tulisan tut wuri handayani sama logo osis di baju lo. Kita cuma anak SMA Ram, tawur sama anak SMA lain aja masih ada kemungkinan kalah apalagi lawan pemerintah yang katanya mau depopulasi, berlubang kepala kita nanti." Kata Rama.

"Terus kita mau apa ? Nunggu proses depopulasi itu jalan terus kita cuma bisa berdoa bahwa bukan kita yang kena ?" Tanya Rama. "Mending gue bundir sekalian anjir." Pungkasnya.

"Tapi bener kata Mada kak, walaupun tanpa solusi, tapi semua yang di omongin Mada bener." Deni membenarkan posisi duduknya.

"Ini jadi makin rumit, awalnya gue cuma mau keadilan buat ayah gue, tapi sekarang malah jadi kaya gini." Rama menghela nafasnya dengan gusar.

"Mending sekarang kita coba runtutin apa yang kita tau dulu, entah tujuan kita mau minta keadilan buat ayah kak Rama atau ngatasin depopulasi, seenggaknya kita tau bakal ngelawan apa kedepannya." Lanjut Deni. Rama dan Mada mengangguk setuju, mereka sudah terlanjur tau, dan kebetulan mereka bukan tipe orang yang bisa diam setelah tau fakta sebenarnya.

"Oke, langsung aja, oh ada satu hal yang masih janggal di gue nih, sejak ibu lo di kasih ke organisasi itu sama bapak lo itu, dia jadi kasar sama lo, itu tuh kenapa ?" Tanya Mada.

"Ya mana gue tau, ngapain gue pikirin orang kaya gitu." Jawab Deni acuh, dia benar-benar muak apabila ada bayangan tentang ayahnya muncul di kepalanya.

"Bukan gitu bego, maksud gue, apa lo gak pernah mikir kalo perubahan sikapnya itu gara-gara dia nggak bisa ngelindungin istrinya, dia nggak siap makanya dia ngelampiasin semuanya ke lo." Rama memajukan badannya, menatap mata Deni yang kini juga menatapnya, dia tau Deni memang tidak bisa tidak emosi saat membicarakan ayahnya.

"Cukup, topiknya adalah ibu lo di culik, yang tadi Rama omongin bisa di bahas nanti." Kata Mada setelah baru saja menegak habis minuman di gelasnya.

"Yang terjadi setelahnya adalah, ibu lo terlibat dalam insiden bom bunuh diri di kantor walikota beberapa waktu lalu, terus ibu lo ketemu sama lo di rumah sakit, dan setelah itu dia ketemu sama Aura. Gue yakin loh, lebih dari banyak yang di omongin ibu lo ke Aura, dia sampai histeris gitu tadi. Yah baru sampe situ yang gue tau" Lanjut Rama.

Tidak lama setelah penjelasan Rama, Mada menegakkan badannya, terlihat akan berbicara, tapi sebelum itu ia melirik Deni terlebih dulu lalu dibalas anggukan oleh Deni.

"Biar lo tau Ram, kemaren pas Deni bolos, dia minta bantuan gue, buat lacak markas organisasi ini dengan cara ngikutin bapak dia seharian, siapa tau dia berkunjung ke tempat istrinya, tapi gagal. Ya walaupun pas dikasih tau rencananya gue juga udah pesimis bakal ada hasil, tapi seenggaknya kita nyoba." Mada berucap dengan nada kesal, mereka semua belum menemukan cara apa yang masuk akal untuk mengatasi ini.

Suasana kembali hening, semakin malam, pengunjung di cafe tersebut semakin sedikit yang akhirnya hanya menambah keheningan malam itu, mereka bertiga bergulat dengan pemikiran mereka sendiri, terlalu dini untuk mereka tau fakta itu. Ada banyak hal yang mereka bertiga pikirkan, tapi di antara itu semua, hanya satu hal yang bisa mereka pikirkan, setidaknya untuk saat ini, "andai saat tau ini gue lebih 'besar'"

Selama mereka bertiga sibuk dengan obrolan mereka, tanpa sadar ada seseorang yang mendengar semua pembiacaraan mereka, semua.

"Dasar anak-anak naif."

To be continued

"Akhirnya balik lagi, gada yang nungguin ya ?" Author balik badan dan mengajak ribut siapapun yang lewat.

ANTITESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang