3

9.7K 876 12
                                    

Hari demi hari telah Naya lewati menjadi seorang kasir di sebuah cafe. Dia bekerja dengan semangat dan tekun. Telaten dan rajin juga. Bahkan, dia selalu sampai lebih pagi dari yang lain. Membantu bagian kebersihan untuk menyapu dan mengepel.

Jika dihitung, sudah 10 hari Naya tinggal di Jakarta. Tak terlalu mudah, karena dia terbiasa bertemu setiap hari dengan adik dan neneknya. Namun, Naya berusaha membiasakan diri.

Seperti hari-hari biasa, pada jam makan siang, pengunjung selalu banyak. Dan seperti yang dikatakan Fita, pria yang menjadi langganan utama cafe selalu datang. Hanya sekedar memesan secangkir kopi hitam. Terkadang, memesan waffle juga.

Naya tidak terlalu memperhatikan, tapi Fita yang selalu bercerita. Akhirnya, Naya jadi tahu juga kebiasaan langganan utama mereka. Fita sepertinya memang fans berat pria itu. Fans rahasia, yang terlalu malu bahkan hanya sekedar menatap wajah.

Saat ini, Fita cukup sibuk melayani para pelanggan. Naya juga terus melayani pelanggan yang bayar. Hanya bisa berdiam diri sesaat, terus bekerja lagi.

Saat sedang melayani pelanggan, Naya merasakan ponsel yang dia simpan di saku celana bergetar. Karena sibuk, Naya tak langsung mengangkatnya. Membiarkannya lebih dulu.

Tapi ternyata, getaran ponsel itu tak berhenti. Membuat Naya bingung dan penasaran. Sekaligus khawatir, takut itu telepon penting dari neneknya.

"Mba Diah, aku mau ke belakang sebentar boleh? Ponselku terus bergetar," bisik Naya pada seniornya tersebut. Diah mengangguk, memberi izin. Mengambil alih kasir sementara dan membiarkan Naya pergi ke belakang cafe.

Tak ada yang sadar, sedari tadi Naya menjadi perhatian sang langganan utama cafe itu. Rama, si langganan utama cafe terus memperhatikan Naya sejak tadi.

Entah kenapa, jiwa penasarannya muncul begitu saja. Bangkit berdiri, dan melangkah mengikuti Naya. Tak ada yang curiga atau heran, karena berpikiran mungkin dia akan ke kamar mandi.

Rama berdiri beberapa langkah di belakang Naya yang sedang sibuk dengan ponselnya. Dan tak sengaja, Rama mendengar Naya yang berbicara pada seseorang di seberang telepon.

"Firda sakit apa, Nek? Apa kondisinya sangat buruk?" Suara Naya terdengar penuh kekhawatiran. Mendengar adiknya jatuh sakit, sedangkan di sana, neneknya tak punya uang.

"Coba, Nek, pinjam dulu sama Bu RT. Nanti jika Naya sudah terima gaji, di bayar. Naya baru kerja satu minggu. Gak mungkin Naya pinjam uang ke bos Naya."

"Maafkan nenek, Nay. Tapi, Bu RT gak mau kasih pinjam. Katanya, takut nenek gak bayar. Belum lagi, tadi Pak Jamal datang."

"Pak Jamal datang ke rumah? Mau apa?" tanya Naya. Tangannya terkepal dengan kuat karena khawatir. Takut pria bernama Jamal itu menyakiti nenek dan adiknya.

"Pak Jamal tahu kamu berangkat ke Jakarta untuk kerja. Dia langsung datang untuk menagih utangnya. Dia juga bilang, kita harus membayar bunga sebesar 30%. Pak Jamal memberi waktu satu minggu. Kalau tidak segera dibayar, katanya rumah akan diambil sebagai jaminan."

Naya terdiam dengan tubuh yang mendadak lemas mendengar itu. Satu minggu? Bagaimana dia bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu sesingkat itu? Belum lagi bunga yang harus dibayar sangat besar.

"Nek, Naya tidak tahu harus mendapatkan uang sebanyak itu dari mana. Tapi, nenek jangan khawatir. Naya akan berusaha. Do'akan saja Naya di sini agar selalu sehat." Naya berucap dengan senyum miris yang tersungging di bibirnya. Dia harus bisa menenangkan hati neneknya, walau dia sendiri kebingungan.

Di belakang Naya, Rama terdiam dengan otak berputar, membuat sebuah rencana. Sebelum Naya menyadari kehadirannya, Rama segera berbalik dan kembali menuju mejanya. Menyusun rencana, yang baru saja terpikirkan olehnya.

***

Malam ini, Rama memilih untuk tak pulang ke rumah. Mampir kembali ke apartemen Tian, dan meminta izin untuk menginap. Tian dan Dianti mengizinkan. Mereka jelas tahu bagaimana situasi Rama sekarang. Menyuruh Rama pulang ke rumahnya, sama saja mereka tak punya empati.

"Ram, mungkin lain kali kamu harus beli rumah sendiri. Atau nggak, apartemen sendiri. Masa iya tiap ada masalah sama ibu tirimu, kamu akan lari ke sini." Dianti memberi saran. Bukan tak suka, dia tak masalah Rama mau menginap di apartemennya kapan pun. Tapi, rasanya tetap tak nyaman. Karena mereka hanya sebatas sahabat, tak ada hubungan keluarga ataupun darah.

"Setelah menikah, aku akan membeli rumah," jawab Rama langsung. Mendengar pernyataan Rama, Tian dan Dianti langsung melotot. Menatap Rama dengan pandangan kaget dan tak percaya.

"Menikah? Kamu akan menikah, Ram?" tanya Dianti semringah.

"Hanya agar perusahaan tak jatuh pada Leo," jawab Rama.

"Siapa wanita yang beruntung itu?" tanya Tian, tertarik untuk mengorek informasi.

"Aku belum bicara berdua dengannya. Baru menghubunginya lewat telepon dan pesan saja. Dia juga belum tahu rencanaku," jawab Rama.

"Memangnya apa rencanamu?"

"Aku akan membuat perjanjian dengannya. Nikah kontrak." Mata Dianti langsung melotot tajam mendengar itu.

"Nikah kontrak?"

"Ya. Dia sedang membutuhkan uang. Aku akan memberinya uang, dan dia haris menikah denganku. Aku akan menceraikannya, setelah dia berhasil memberiku seorang anak," lanjut Rama. Mata Dianti mendelik kesal mendengarnya.

"Ram, jujur aku gak setuju sama rencanamu. Dari awal, rencanamu udah jahat. Berniat memisahkan anakmu kelak dengan ibunya. Bicara itu memang mudah, Ram. Bisa saja nanti dia bicara akan sanggup dan bisa menerima keputusanmu. Tapi, tetap saja, Ram. Hati seorang ibu tak akan tega dan rela jika harus dipisahkan dari anak yang sudah susah payah dia lahirkan." Dianti berbicara dengan nada kesal dan panjang lebar. Mengkritik pedas rencana Rama yang baginya terdengar jahat.

"Di luar sana banyak juga seorang ibu yang membuang anaknya sendiri. Mereka masih hidup baik-baik saja kan?"

"Mereka bukan manusia. Mereka itu iblis yang tak punya hati nurani. Karena jika benar dia seorang wanita dan ibu, dia tak akan melakukan hal buruk seperti itu." Dianti langsung memungkas dengan telak. Rama menatap Dianti cukup lama. Dan amarah terlihat jelas di mata sahabatnya itu.

"Aku tahu kamu sedang terdesak. Tapi, tak usah mengambil kesempatan dalam kesempitan kan? Jangan jadi seorang pecundang, Ram." Dianti terlihat sangat kesal. Dia langsung bangkit berdiri, meninggalkan suaminya dan Rama. Masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu dengan kencang.

"Ada yang salah dengan istrimu?" Rama bertanya pada Tian yang sedari tadi hanya diam.

"Rama, asal kau tahu saja. Wanita PMS itu akan berkali-kali lipat lebih mengerikan dari biasanya. Makanya aku memilih diam saja dari tadi. Karena aku tak mau ikut tersemprot kemarahannya." Rama terdiam mendengar jawaban Tian barusan.

"Baiklah. Sepertinya aku batal menginap. Aku akan sewa hotel saja untuk malam ini," putus Rama. Dia bangkit berdiri dan pamit pergi. Sadar dengan kemarahan Dianti, yang tak akan selesai dalam waktu dekat. Jadi, lebih baik dia menghindar saja.

_______________________________________

Hai hai...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...

Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang