Parte 2

122 5 2
                                    

Aku bisa merasakan rasa malu dan kesal yang luar biasa saat melihat urutan nama pemenang yang tidak sengaja tertampilkan di layar proyektor. Untuk pertama kalinya selama 3 tahun berturut-turut, aku tidak mendapatkan posisi pertama di kegiatan kampus.

Maksudku, aku selalu mendapatkan nilai A di setiap mata kuliah, aku juga merupakan salah satu pengurus inti dari himpunan mahasiswa jurusanku dan aku selalu menjadi juara satu dan pembicara terbaik dalam perlombaan debat bahasa inggris baik tingkat fakultas maupun universitas. Tapi, kali ini aku harus tergeserkan oleh mahasiswa baru yang tinggal di sebelah rumahku. Mau dibilang apa aku sama umi dan baba jika mereka tahu hal ini?

"Makanya belajar sama latihan yang lebih rajin"

"Kamu tuh ga bisa manage waktu ya?"

"Kok segitu doang hasilnya? Kenapa ga lebih?"

"Kalo anak orang bisa, anak Baba harus lebih bisa"

"Kamu tuh laki-laki, harus nafkahin anak-istri kamu"

"Kamu kurang ibadah nih"

Sekarang, kata-kata yang aku tahu akan dikatakan oleh ummi dan baba berputar di kepalaku. Jika kalian ingin tahu umi dan babaku adalah orang tua seperti apa, mungkin dari kata-kata di atas kalian sudah tau orang tua macam apa mereka. Orang tua yang tidak pernah puas atas prestasi anaknya, heteronormatif dan juga selalu menghubungkan segala peristiwa dengan agama. Mereka memang tidak pernah bermain fisik terhadapku, tapi asal kau tahu, mendengar perkataan-perkataan seperti itu dilontarkan kepadamu setiap saat terasa lebih menyakitkan dari pukulan ikat pinggang atau pun tamparan.

Aku bisa merasakan pipiku memanas. Terlebih saat aku melihat semua orang melihat ke arah layar proyektor dan kemudian beberapa dari mereka tertawa sambil menunjuk ke arahku. Aku langsung turun dari panggung dan berjalan ke arah keluar aula tanpa menghiraukan perkataan Rani untuk tetap di panggung.

Aku sekarang berada di tempat tempat duduk yang berada jauh dari aula dan cukup tersembunyi. Aku bisa merasakan air mata mengaliri di pipiku. Aku menangis bukan hanya karena aku tidak siap akan perkataan yang akan diutarakan umi dan baba, tapi juga karena aku merasa malu. Saat aku sedang menangis, tiba-tiba aku bisa melihat ada tangan seseorang yang sedang memegang tissue di sampingku. Aku pun segera menghapus air mataku dengan tangan tanpa mengambil tissue tersebut dan melihat ke arah orang yang memberikan tissue tersebut.

"Udah, ga papa ini gue, lap pake tissue nih" kata Deva sambil tersenyum kecil.

"Thanks" kataku sambil mengambil tissue yang disodorkan oleh Deva.

"Nih minum" katanya lagi yang sekarang sudah duduk di sebelahku dan memberikan satu botol air putih. Aku pun meminum air tersebut karena jujur aku merasa haus setelah lari dari aula dan kemudian menangis.

"Gimana? udah enakan?" tanya Deva sambil melihat ke arahku dan berusaha menenangkanku dengan mengusap punggungku. aku pun hanya mengangguk. Lalu kami pun duduk di sana tanpa berbicara sedikit pun sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Deva memang merupakan salah satu orang yang paling mengertiku, dia tahu tentang keluargaku yang sangat demanding dan oleh karena itu dia datang mengejarku dan menemaniku di sini.

Deva berencana mengantarku pulang dan sesampainya kami di parkiran mobil, kami bertemu dengan Rifky yang ternyata memakirkan mobilnya di dekat mobil Deva dan tersenyum ke arah kami sambil melambaikan tangannya. Seketika moodku jelek kembali saat melihat muka Rifky apalagi saat melihat ia berjalan ke arah kami.

"Halo bang, pada mau balik?" tanya Rifky yang sekarang berada di hadapan kami berdua.

"Iya nih, gue mau nganterin Akbar dulu" jawab Deva tentunya. Aku sedang tidak mau berbicara terhadap orang yang akan dibicarakan oleh umi dan baba di rumah nanti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

under the moon and the starTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang