Part 1

3.1K 221 11
                                    

Abel menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari udara segar untuk memulihkan hatinya yang baru saja berduka. Sekuat mungkin ditahannya air mata yang kembali mengenang di pelupuk mata. Usaha Abel gagal. Lagi, dan lagi untuk kesekian kali, air mata itu jebol tanpa pertahanan.

Kali ini gadis itu tidak bisa membendung duka yang dirasakannya. Tangis itu tumpah, hingga membuat kedua bahunya berguncang hebat. Gadis berambut sebahu lebih itu menenggelamkan kepalanya di atas bantal yang dipeluknya untuk menumpahkan semua isak tangisnya dengan leluasa. Karena dengan cara ini, kedua orang tuanya atau siapa pun tidak akan mendengar suara tangisnya saat ini.

Bayangan seminggu lalu saat lelaki yang selama beberapa tahun lalu, menjadi lelaki yang begitu diharapkannya, menghancurkan semua harapan yang ditanamnya selama ini, setelah Abel  mengetahui fakta terpahit yang tidak pernah diduganya.

"Jadi, kapan kamu mau jujur sama Abel kalau kita bakal menikah? Aku udah bosan lihat cewek itu nempel terus sama kamu, Jo. Mestinya, kamu tegas sama dia kalau kamu itu udah jadi tunangan aku. Kita saling mencintai, dan kamu juga nggak ada perasaan apapun sama dia."

"Jenar, aku nggak bisa menyakitinya langsung. Tolong beri aku waktu untuk memberi tahu Abel semua ini,"

"Tapi, mau sampai kapan Jo? Aku udah nggak tahan lagi ngelihat kamu sama dia. Aku capek, Jo. Aku ingin kamu memberi tahu cewek itu kalau sebenarnya kita akan segera menikah."

"Iya, sayang. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu Abel. Tolong kamu sabar ya, Jenar." bujuk lelaki berpostur tinggi atletis itu sambil merengkuh kedua bahu gadis berparas cantik yang ada di hadapannya itu. Setelah itu keduanya berpelukan, hingga tidak sadar ada sepasang mata yang sejak tadi menyaksikan dan mendengar semua interaksi sepasang insan itu dengan pandangan terluka.

Lelaki itu langsung melepaskan pelukannya dari sang wanita, begitu netra hitamnya bertemu dengan sosok yang saat ini terus menatapinya dengan wajah kecewa. Raut wajah laki-laki tampan berkaca mata itu terlihat pias.

"Abel.... "

"Biarin aja, nggak usah kamu kejar!" Jono yang hendak melangkah mengejar Abel, terpaksa berhenti begitu tangan wanita itu mencekal pergelangan tangannya.

Keesokan harinya, Jono berusaha menemui Abel yang mati-matian menghindari pria itu. Dari memblokir nomor Jono dan mematikan telpon pria itu setiap berusaha menghubunginya. Kali ini Abel tidak bisa menghindari Jono yang nekat mendatangi kantor tempat Abel bekerja, saat gadis itu sedang menikmati makan siangnya.

"Ngapain lagi kamu datengin aku?" Abel hanya menatap benci sosok laki-laki yang baru saja mematahkan hatinya itu.

"Aku minta maaf," ujar pria itu dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah. Tampak penyesalan di sana, namun, Abel memilih abai. "Aku berdosa karena sudah menyakiti kamu, Abel. Aku tahu apa yang aku lakukan tidak pantas untuk dimaafkan, dan sekarang aku datang bukan untuk membela diri. Tapi, aku benar-benar ingin meminta maaf tulus dari hati aku yang terdalam."

"Untuk apa juga kamu minta maaf, Jonathan? Saat ini, jauh lebih baik kalau kamu pergi dan jangan pernah mengangguku lagi! Pergi sekarang juga!" ujar Abel tegas dengan nadanya yang dingin.

"Baik." ucap Jono pelan lalu tersenyum. Senyum yang tidak bisa ditangkap Abel apa maknanya. "Maafin aku, Abel. Bagiku, kamu adalah yang terindah. Kesalahanku yang sudah menyia-nyiakan kamu selama ini mungkin tidak pantas untuk dimaafkan. Aku berharap kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari pada aku."

Usai mengatakan kalimat itu, Jono melangkah pergi. Abel sendiri berusaha mati-matian menahan bulir bening yang saat ini sudah terkumpul dipelupuk mata, dengan tangannya yang terkepal.

CINTA UNTUK ABELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang