Bagian - 2

729 52 2
                                    

Dengan perlahan Anne mulai membuka mata, menyesuaikan cahaya yang memaksa masuk ke indra penglihatannya. Silau tentu saja. Gadis itu pun mengerjap beberapa kali.

Begitu pandangannya mulai terfokus, sosok pertama yang didapatinya adalah Devina. Devina duduk di sisi ranjang samping Anne dan tampak memainkan ponselnya.

Anne menyapukan pandangan ke seisi ruangan. Kamar berwarna abu-abu dengan lampu tidur bertengger di bagian langit-langit. Jendela di salah satu sudut kamar yang terbuka dan tirai putihnya menari terkena hembusan angin.

Anne baru tersadar dengan kondisinya ketika dirasakan pernapasannya mulai teratur. Ia dapat merasakan nebulizer yang bertengger manis di sudut hidungnya. Tangan Anne terulur untuk melepas benda itu, yang sontak memberikan sinyal kepada Devi bahwa gadis yang dijaganya telah sadar.

"Anne, kamu nggak papa?" Devi menggeletakkan smartphonenya sembarangan di atas nakas. Ia membantu Anne melepas nebulizer.

"Kak, jam berapa?" Ujar Anne lirih begitu ia terbebaskan dari benda yang cukup 'mengganggu' itu.

Devi melirik jam beker mini yang terletak di atas nakas. Jarum panjangnya berada di angka 3 dan jarum pendeknya menuju angka 12.

"Jam 11.15, An. Kenapa?"

"Wow! Aku nggak sadarkan diri lama ya, Kak?"

"Ya begitulah. Bukan cuma nggak sadar, tadi asma kamu sampai kambuh. Aku panik dong. Untung Mama keburu balik."

"Maaf, ya, Kak. Aku ngerepotin mulu."

"Bisanya ngomong gitu. Santai aja."

Anne hanya tersenyum tipis. Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Dadanya masih sedikit terasa sakit, tapi tidak terlalu. Tenaganya juga terasa mulai terisi. Hanya perutnya saja yang terasa kosong.

"Kak, lapar." Gadis itu meringis.

"Mama tadi udah siapin bubur buat kamu. Aku panasin dulu, ya. Kamu di sini aja." Devina menarik selimut yang menutupi tubuh Anne agar lebih ke atas, sebelum kemudian beranjak.

Anne mengangguk, sebelum kemudian berseru menghentikan Devi yang hendak keluar kamar.

"Kak, Devan ke mana?"

"Devan lagi keluar sama Mama, An."

"Oh ...."

"Kenapa emangnya?"

"Yang bawa aku pulang Devan, Kak?"

"Aku kurang tau juga. Tadi pagi tuh aku masih mandi, waktu keluar kamar mandi udah ada kamu tergeletak di sofa dengan kondisi basah semua. Nggak ada siapa pun."

"Devan nggak ada juga?"

Devina mengangguk.

"Tapi kemungkinan yang bawa kamu ya Devan. Siapa lagi coba yang tau kalau kamu lagi tinggal di sini, kalau bukan Devan? Misal orang random pun, nggak mungkin bawa orang pingsan ke sini. Palingan langsung ke rumah sakit terdekat," jelas Devina.

Anne hanya mengangguk. Penuturan Devina sangat masuk akal. Sudah pasti Devan yang membawanya pulang. Ahh ... Lagi-lagi, untuk ke sekian kalinya, Anne berutang nyawa pada Devan.

"Butuh sesuatu yang lain, An?"

Anne menggeleng. Devina pun tersenyum dan berlalu meninggalkan Anne yang masih berkutat dalam segala pikirannya.

Entah mengapa Anne merasa sedikit ingat sosok yang dilihatnya sesaat sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri. Sorot mata itu ... bukan sorot mata Devan.

Anne sangat mengenal Devan dan hampir setiap detail fisik laki-laki itu. Sorot mata Devan tajam dan tegas. Sorot yang menurut Anne sanggup menumpulkan pisau dapur jika beradu ketajaman.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang