Petugas kasir menyebutkan nominal yang harus ku bayar. Dan aku langsung mengeluarkan uang dengan nominal yang sama. Aku memberikan uang itu lalu mengambil minuman yang sudah ku beli itu.
Tapi basa-basi, aku langsung meminumnya. Seketika rasa dingin menjalar di dalam tubuhku. Aduhhhh...segarnya... begitulah yang ada di pikiranku sekarang.
Setelah menghabiskan minuman itu, pikiran ku kembali mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Aku penasaran seperti apa wajahnya. Bahkan aku tidak menanyakan namanya. Dia pun tak menanyakan namaku.
"Ahhh astaga, ibu......" ucapku sambil menepuk dahiku. Kemudian kembali berlari menuju garis finish yang mulai terlihat.
Sebentar lagi aku sampai di tempat tujuan. Terlihat seorang wanita paruh baya. Yang tidak lain adalah Ibuku. Aku sedikit menambah kecepatanku.
Dan akhirnya sampai."Ibu......." panggilku dengan nafas yang terengah-engah. Aku menunduk dengan kedua tangan yang aku letakkan dilutut sebagai penyangga.
"Kau lari lagi?" tanya ibu dengan tangan yang ia lipat di dada dihiasi oleh tas favoritenya.
"Busnya datang lama sekali. Bahkan tidak muncul sama sekali. Jadi aku lari saja." jawabku sembari kembali berdiri tegak.
"Yasudah, ibu hanya tak mau jika kau masuk di rumah Pak Wijaya dengan nafas yang tersenggah." sahut ibu dengan memutar badannya menghadap arah rumah Paman Wijaya.
"Tidak akan." jawabku.
Kami berjalan berdampingan layaknya orang yang sedang kencan di trotoar. Tanganku sengaja ku lingkarkan di lengan kanan ibu. Sepanjang jalan kami hanya terus tertawa. Untung saja kegiatan kami tidak mengganggu pengguna trotoar yang lain.
Setelah berjalan kaki sekitar sepuluh menit, akhirnya rumah Paman Wijaya pun terlihat. Kami memasuki gerbang yang sengaja tidak dikunci karena Paman Wijaya tahu bahwa kami akan datang berkunjung.
Ukuran rumah Paman Wijaya jika diukur dari gerbang sampai taman belakang, itu bisa seluas lapangan di SMA dulu. Yang jadi masalah, rumah ini hanya dihuni oleh beberapa orang saja.
"Permisi, Paman Wijaya." aku berteriak tepat di depan pintu masuk. Aku harap seseorang datang dan segera membuka pintu serta mengizinkan kami untuk masuk. Karena berdiri terlalu lama itu tidak menyenangkan.
"Iya, sebentar..."seseorang dari dalam rumah terdengar sedang berjalan mendekati pintu.
Ceklek......
"Silahkan masuk. Tuan Wijaya sudah bilang kalau kalian akan datang hari ini." ucap salah satu asisten rumah tangga Paman Wijaya. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
Asisten rumah tangga Paman Wijaya memang banyak. Kalau aku tidak salah, asistennya ada sepuluh orang. Memang seharusnya begitu, karena untuk mengurus rumah sebesar museum ini harus dibantu banyak orang. Kalau dengan empat asisten rumah tangga sepertinya sudah cukup.
"Saya akan panggilkan Tuan dulu, permisi." ucapnya kemudian berjalan meninggalkan kami.
Tak lama, Paman Wijaya pun terlihat. Ia turun dari lantai dua rumahnya. Yang aku tahu, memang kamar dan ruang kerjanya ada di lantai dua rumah ini.
"Sudah lama, yah." sapa Paman Wijaya sembari duduk di sofa single miliknya.
"Tidak juga. Apa kabar, Paman?" tanyaku sekedar basa-basi.
"Baik. Bagaimana dengan ayahmu? Kelihatannya dia sibuk sekali." tanyanya kembali. Yah begitulah, basa-basi yang berujung tanya jawab. Aku menjawab pertanyaannya dan dia menambah pertanyaannya terus menerus. Tentunya diselingi dengan canda tawa. Keluargaku dan keluarga Wijaya memang sudah sangat akrab layaknya keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTERY OF MY SCHOOL [COMPLETED]
Misterio / Suspenso[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Kisah seorang anak SMA yang mempunyai kemampuan yang tak biasa. Tapi entah mengapa, ia malah mengatakan bahwa kemampuannya itu adalah sebuah hal yang tak wajar. Ia bahkan sering disibukkan oleh kemampuannya itu. Entah itu me...