"Mengapa kau menulis jawaban seperti ini?"
"Ada apa dengan dirimu?"
"Apa yang kau lakukan sepulang sekolah?"
"Dasar pemalas!!"
"Sepertinya kau tidak pernah belajar, ayo jawab!!!!"
Jinyoung berdiri seperti patung.
Hari ini, saat istirahat, di kantor guru, pak Lee, wali kelasnya menumpahkan seluruh kekesalan pada dirinya.Jinyoung tidak menulis jawaban apapun pada kuis terakhir minggu lalu. Pada baris terakhir di kertas kuis, Jinyoung hanya menuliskan kalimat 'maaf pak, saya belum belajar'.
"Bapak ingin bertemu orang tuamu besok!"
Kalimat barusan membuat Jinyoung terkejut, "Tidak pak, jangan! Ijinkan saya mencoba kuis lagi dengan soal berbeda! Kali ini saya akan belajar!"
" Hei Jinyoung, kamu pikir membuat soal itu gampang hah? Kalau kau sadar, nilaimu dari awal semester dua ini paling tinggi adalah C. Kau ini niat sekolah tidak? Kalau tidak niat sekolah lebih baik keluar saja mulai sekarang!"
Jinyoung mulai gemetar, "pak??"
"Ada apa? Kau ingin menangis? Tangisanmu itu tidak berguna kalau kau mau tahu. Tangisanmu itu tidak akan merubah nilai-nilaimu!"
"Pak, saya mohon..."
"Keluarlah! Jangan lupa, besok orang tuamu harus datang ke sekolah. Ini surat panggilannya!", jelas pak Lee sambil melemparkan sebuah amplop berisi surat panggilan orang tua di meja, di hadapan Jinyoung.
"Keluar sekarang!!!!"
**
"Apa yang harus kulakukan nanti?"
Kini Jinyoung bersembunyi di halaman belakang sekolah sambil menangis.
Dia memang anak laki-laki, tapi hatinya tidak setegar batu karang.
Bila boleh berteriak, ia akan berteriak sekarang. Tapi mungkin perbuatannya itu nanti akan mengundang seisi sekolah datang menghampiri, sayangnya bukan untuk menghiburnya, tapi untuk mengumpat atau memukulnya karena telah mengundang keributan.
Jinyoung lahir dari keluarga yang tidak harmonis. Ayahnya seorang pemabuk, hingga ibunya lelah dan pergi bersama pria lain saat Jinyoung masih SMP. Mungkin pria itu bukan pemabuk dan kaya raya. Atau pria itu miskin tapi bukan pemabuk.
Masalahnya adalah Jinyoung berpikir mengapa ibunya tidak membawanya juga pergi dari ayahnya yang pemabuk tersebut.
Jinyoung hanya membenci kebiasaan ayahnya yang sering minum minuman beralkohol, selebihnya tidak. Ayahnya sebenarnya adalah pribadi yang penyayang, tidak pernah memukul atau kasar. Tapi sayangnya kini sudah menganggap Jinyoung seperti tidak ada.
Uang saku hanya diberikan seadanya. Itu pun kalau tersisa uang dari dompet ayahnya.
Lalu bayaran sekolah?
Jinyoung terpaksa bekerja mulai sepulang sekolah. Ia bekerja di minimarket saat sore, dilanjutkan menjadi pelayan kafe di malam hari.Sebenarnya Jinyoung tidak diterima bekerja begitu saja, karena usianya masih 16 tahun. Tapi ia memohon terus menerus. Selain itu, para pemilik minimarket dan kafe tersebut merupakan kenalan keluarga Jinyoung. Jadi, mereka sebenarnya iba kepada anak itu. Anak yang keluarganya berantakan, bisik para tetangga dan kerabat.
"Kamu sedang apa di sini, Jinyoung?"
Jinyoung hampir melompat kaget. Suara itu tiba-tiba membangunkan dari lamunannya.
Jinyoung mendongak. Lalu berdiri sambil menghapus sisa airmatanya dengan kasar.
"Eh, pak Jaebum, saya hanya istirahat pak"
KAMU SEDANG MEMBACA
I DONT WANNA LEAVE AGAIN
FanfictionJaebum dan Mark memperebutkan hak asuh Jinyoung. Sebenarnya Jinyoung sendiri ingin tinggal bersama siapa ? Cerita ini murni tentang kehidupan keluarga.