Hari Senin pagi ini terdapat pemandangan berbeda di SMA Seoul One. Sekumpulan murid kelas 10 A ramai berkerumun di depan ruang bimbingan konseling yang tertutup.
Di dalamnya hanya ada Jinyoung Tuan dan bu Irene yang sedang berbicara serius sekali.
Sementara di ruang kepala sekolah, ada Jaebum dan kepala sekolah itu sendiri juga melakukan pembicaraan yang sama topiknya.
"Saya harap bapak bersedia membimbingnya selama sisa semester ini ", pinta kepala sekolah.
Sambil menyerahkan rapor dan hasil ujian tengah semester seorang murid kelas 10, ia melanjutkan, "...sayang sekali, pak Jaebum, padahal kalau nilai-nilainya stabil, ia bisa mendapatkan beasiswa untuk bebas biaya spp di kelas sebelas selama satu semester."
"Apakah hal ini sudah diketahui orang tuanya?", tanya Jaebum.
"Beberapa hari yang lalu ayahnya datang, penampilannya lusuh. Kau seharusnya melihat orang itu. Dari penampilannya saja aku yakin dia tidak mengurus anaknya dengan baik. Aku sudah berbicara tentang masalah anaknya. Tapi ia menanggapinya tidak serius. Ada masalah besar sepertinya, dan itu sudah menjadi bagianmu pak Jaebum."
Jaebum mengambil berkas murid yang diberikan kepala sekolah.
"Semoga saja aku bisa membantunya. Terima kasih atas kesempatan ini, pak"
"Aku yang berterima kasih. Teman-teman yang lain pun akan berterima kasih padamu karena mereka tidak akan lagi mendengar keluhan pak Lee", balas kepala sekolah yang membuat keduanya tersenyum.
Sedangkan di ruangan bimbingan konseling, Jinyoung Tuan tertunduk lesu mendengar penjelasan bu Irene.
Mulai hari ini, Jinyoung dipindahkan ke kelas 10 D. Artinya ia akan bertemu teman-teman yang berbeda dari biasanya.
Terlebih, ia akan bertemu dengan Jaebum yang sama sekali tidak ia mengerti cara kerja pikirannya.
Bagi Jinyoung, pertemuan terakhir dengannya di perpustakaan tempo hari yang lalu sudah cukup menegaskan bahwa Jaebum adalah setipe dengan pak Lee.
Bedanya, dari luar penampilan Jaebum lebih ramah, namun kata-kata yang keluar dari bibirnya cukup menyayat hati.
Apalagi sekarang ia harus bertemu dengan Jaebum setiap hari. 'Aku mungkin akan sakit hati setiap detik. Lidahnya seperti pedang yang langsung menancap di jantung', ungkap Jinyoung dalam hati.
Bu Irene bilang kepala sekolah sudah membicarakan keputusan ini bersama ayahnya.
Jinyoung tidak tahu ternyata ayahnya mau datang ke sekolah. Masalahnya, ayahnya sendiri di rumah tidak mengatakan apa-apa. Atau ia terlalu mabuk untuk mengingat kejadian apapun.
"Kau harus mengerti, ini demi kebaikanmu Jinyoung", jelas bu Irene menguatkan hatinya.
"...saya...saya tidak tahu harus bagaimana, setelah pak Lee membenci saya...", air mata Jinyoung jatuh di pangkuannya.
"Jangan katakan itu, pak Lee tidak membencimu! Ia meminta kepala sekolah melakukan ini untuk menyelamatkan prestasimu, bahkan lebih, Jinyoung!"
Jinyoung mulai terisak.
"...apalagi kau akan diajar oleh pak Jaebum. Beliau akan mendampingimu. Kau tahu, ternyata pilihan pak Lee adalah yang terbaik", lanjut bu Irene.
Pembicaraan keduanya terhenti sesaat setelah seseorang membuka pintu ruangan tersebut.
Bu Irene bangkit dari kursinya, ia tersenyum lega, "Kurasa kau harus menyambut wali kelas barumu!"
Jinyoung menghapus air matanya dan berbalik ke arah belakang, lalu berdiri, " Pak Jaebum!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I DONT WANNA LEAVE AGAIN
FanfictionJaebum dan Mark memperebutkan hak asuh Jinyoung. Sebenarnya Jinyoung sendiri ingin tinggal bersama siapa ? Cerita ini murni tentang kehidupan keluarga.