Mary masih tetap setia menutup sepasang kelopak matanya, tidak berani untuk membukanya sedikitpun. Dia takut bergerak, takut untuk mengelak. Namun pikiran gadis itu bertanya-tanya, apakah ini kenyataan atau sekedar mimpi. Tidak mungkin mimpi, Mary bisa merasakan bagaimana bibir Justin yang kaku berusaha menyentuh bibirnya. Mary masih mengingat detik-detik di mana Justin merendahkan kepalanya perlahan, kemudian saat bibir bertemu bibir. Bibir pria itu terasa dingin dan Mary merasakan seluruh ketegangan Justin seakan meningkat saat menyentuhnya, karena pria itu menyentuhnya dengan begitu hati-hati, seolah bibir Mary akan terluka jika Justin kesalahan menyentuhnya. Sentuhan itu menjadi pertemuan, pertemuan menjadi rasa lapar, rasa lapar menjadi ciuman yang membunyikan lonceng-lonceng dan menggerakkan bumi.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah Mary harus membuka sedikit bibirnya, mempersilahkan Justin agar menjelajahi bagian dalam bibirnya lebih leluasa. Oh tidak. Mary berdebat pada dirinya sendiri, jantungnya berdebar dan seluruh hormon dalam tubuhnya bekerja lebih keras membuat tubuhnya memanas hanya dalam hitungan kurang dari lima belas detik. Dia tidak kuat lagi, Mary menggerutu pada tubuhnya untuk bertahan beberapa menit!
Geez, ini pengalaman pertamanya berciuman dan dia tidak ingin segalanya berjalan berantakan.
Dengan tiba-tiba, Mary menarik kepalanya menjauh, hingga bibir Justin terlepas dan tidak lagi menyentuhnya. Gadis itu segera menarik nafas dalam-dalam, merasa kehabisan nafas seakan seluruh udara residu yang ada dalam paru-parunya tidak ada lagi yang tersisa. Nafasnya terdengar pendek-pendek dan dadanya kembang-kempis.
Justin tersentak kaget melihat reaksi Mary, tidak sadar apa yang baru saja dia lakukan pada gadis di hadapannya—ralat, pada istrinya.
Kehilangan kata-kata dan mendadak merasa seperti baru saja melakukan hal yang sangat tabu, Justin segera menyugar rambutnya yang masih basah dengan jari tangan lantas berdeham untuk mengembalikan suasana, dia menatap Mary ragu-ragu, menghilangkan perasaan sialan yang mengendalikan dirinya. "Kau..." Justin menyipitkan kelopak matanya, "..baik-baik saja?" tanyanya perlahan.
Mary mengangkat wajahnya yang memerah dan mengangguk. "Aku, tentu saja baik-baik saja," jawabnya sambil mengulum bibirnya dengan lidah, masih merasakan aroma bibir Justin membekas di sana. "Itu pengalaman pertamaku berciuman, kau tahu, jadi aku tidak berpengalaman. Kelemahanku adalah aku tidak bisa menahan nafas lebih dari lima detik," lanjutnya malu-malu. "Kau tidak bisa menciumku lama-lama, aku tidak tahan."
Jawaban Mary seperti menelan Justin bulat-bulat, pria itu meneguk ludahnya hingga jakunnya terlihat naik-turun. "Itu tadi," bibir Justin masih terbuka, kata-kata menggantung di udara dan kehilangan konsentrasi untuk berbicara. "Biasanya tidak seperti itu." Dalam hati Justin merutuk bibirnya yang tiba-tiba berkata begitu.
Siapapun tahu bahwa Justin adalah tipe pria dengan pengendalian diri yang sangat baik. Tapi Mary tentu saja tidak sepenuhnya mengenal siapa Justin. Yang Mary tahu hanyalah Justin seorang Jenderal Bintang Lima, sesederhana itu dan segelintir cerita mengenai kehebatan Justin yang diketahui Mary melalui Jeremy.
"Lain kali kau tidak perlu sembarangan menyentuhku," nada suara Justin terdengar ketus. "Aku sangat berhati-hati dengan sentuhan," terlebih lagi sentuhan seorang wanita, tidak ada seorang wanita yang berani menyentuhnya, karena itu, saat Mary menyentuhnya, Justin terkejut dan perasaannya menjadi tidak terkendali. "Terlebih lagi di daerah telinga, laki-laki sangat sensitif di daerah itu."
"Aku tidak tahu." Mary mengerjapkan mata. Kedua pipinya masih tampak merah karena cuaca dingin dan saat diterangi pantulan dari liukan api, membuat wajahnya terlihat merona. "Aku tidak akan mengulanginya lagi," katanya sambil menganggukkan kepalanya mengerti.
Justin kembali menatap Mary dan perhatiannya teralihkan saat mendengar bunyi pintu kamar yang diketuk dua kali diikuti suara lembut seorang wanita memanggil nama Mary.
"Ya, Mom, tunggu sebentar." Mary mengarahkan sepasang bola matanya menatap pintu dan beranjak bangkit, berjalan menuju pintu untuk membukanya. Pintu kamar terbuka dan terlihat seorang wanita berambut cokelat pirang berdiri di depannya.
"Aku sudah menyiapkan makan malam, kita bisa makan bersama-sama," kata Jean sambil tersenyum ramah, "Aku tunggu di meja makan."
Mary menganggukkan kepalanya lantas melirik ke belakang punggung Jean, melihat Theo sedang bermain bersama Amanda lalu wanita itu berbalik dan meninggalkan Mary yang masih berdiri mematung di depan pintu kamarnya. Dia menatap Justin, yang terlihat menggosokkan kedua telapak tangannya di depan perapian. "Mom, mengajak kita untuk makan malam," katanya lirih, dan melihat pria itu masih tetap bergeming pada aktivitasnya.
"Kau duluan saja, aku akan menyusul."
"Begitu?" Mary kemudian mengangguk lagi. "Baiklah," setelah berkata demikian, dia berbalik dan meninggalkan Justin sendirian di dalam kamar, tenggelam di suasana remang-remang kamar hanya ditemani pantulan dari cahaya perapian yang memberikan kehangatan. Jari tangannya naik mengusap bagian belakang kepalanya, merasakan gelenyar aneh menyentuhnya. Tubuhnya terasa kaku namun juga di sisi lain terasa nyaman, dan ada rasa puas yang tak pernah dia alami, perasaan asing yang sangat manis... dan mungkin berkesempatan membuatnya menjadi kecanduan.
****
Ada dua pesawat dan dua helikopter yang digunakan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat dalam proses evakuasi pesawat jatuh yang membawa Justin bersama Mary, salah satunya adalah pesawat CN-235, yang selama ini menjadi andalan dan selalu berhasil mengevakuasi puluhan jenazah pesawat. Pesawat Intai, yang dilengkapi dengan sensor dan peralatan pengendus yang mumpuni, mampu mendeteksi sasaran di samping pesawat sejatuh 100 nautical miles. Dua helikopter lainnya adalah Helikopter SA 300 dan Heli Dauphin.
Berdasarkan data yang didapat dari Pemandu Lalu Lintas Udara, mereka kehilangan kontak dengan pilot pesawat sehingga tidak mampu membantu pilot untuk mengendalikan keadaan darurat.
Pencarian sudah dimulai sejak pagi hari, walaupun cuaca benar-benar tidak bersahabat dan badai salju menjadi penghalang sehingga pencarian mengalami hambatan serius dan belum membuahkan hasil. Pesawat pertama telah diperintahkan untuk berangkat melanjutkan pencarian, Jeremy—salah satunya yang berada di pesawat CNN-235 itu—bersama dengan seorang pilot dan co-pilot, serta empat personel lainnya yang merupakan bagian dari Batalion 616.
"Cuaca menjadi berkabut." Jeremy berbicara melalui sebuah alat komunikasi intensif di tangannya, berbicara dengan tim evakuasi darat gabungan dan anggota US Army yang masih menunggu di lapangan. "Aku tidak yakin pencarian akan berhasil dalam situasi seburuk ini."
"Komandan Weston sudah memerintahkan satu pesawat lain untuk membantu," sahut suara itu terdengar sedikit tidak jelas.
Jeremy menurunkan alat komunikasi itu dan mulai berfokus pada pencarian, pesawat mereka melewati sebuah pegununungan dengan ketinggian 7.000 kaki, dan saat ini pesawat masih mampu beroperasi di ketinggian 1.500 kaki untuk keselamatan. "Apa kita akan mengikuti pola pencarian udara yang dibuat oleh Komandan Weston?"
"Tentu saja, dia yang memimpin pencarian ini," jawab salah satu personel lain yang duduk di sebelah Jeremy.
"Pola pencarian udara yang dibuat olehnya terdengar gila, tidak mungkin jika pesawat jatuh di area berpenduduk padat yang luas, berdasarkan logika, tidak mungkin tidak ada laporan dari masyarakat jika mereka melihat pesawat jatuh di tempat itu." Jeremy terdengar tidak setuju.
"Kau tidak berhak mengubah pencarian, semuanya ada di tangan Komandan Weston."
"Tapi kita yang saat ini mengendalikan pesawat," sahutnya jengkel. "Pesawat itu, pasti jatuh di daerah hutan-hutan lebat, atau daerah yang sepi penduduk." Jeremy menarik nafas panjang lantas mengetukkan jemarinya di atas dengkul, tampak berpikir. "Bagaimana? Bukankah ide-ku terdengar lebih masuk akal? Kali ini aku sedang serius, kenapa kalian tidak ada yang sedikitpun percaya padaku?"
"Sayangnya, tetap tidak bisa, Jer." Kali ini co-pilot yang menjawab. "Harus tetap pada aturan, ikuti pola yang dibuat oleh komandan."
YOU ARE READING
SUPERNOVA by Erisca Febriani
Fanfictionjust dreaming about justin bieber not written by me.