Sepasang kelopak mata Mary yang semula tertutup rapat kini dengan gerakan yang dramatis mulai terbuka—bulu matanya terlihat gemetar hingga akhirnya pupil mata cokelat indah itu sudah terbangun sempurna. Mary masih berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih berputar-putar liar lantas menolehkan wajah ke samping, menemukan dirinya berbaring sendirian. Masih memikirkan di mana Justin sebenarnya tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.
Kemudian Justin muncul dari kamar mandi dengan handuk menggantung sembarangan di sekeliling pinggang, tubuh kencangnya berkilauan terkena titik-titik air dan rambut basahnya tersibak ke belakang. Holy cowl, jantung Mary seolah ditendang melihat pemandangan itu, merasakan tubuhnya seakan meleleh seperti mentega yang berada di bawah sinar matahari.
Justin sama terkejutnya, pupil matanya sempat melebar saat melihat Mary sudah terbangun dengan sepasang kelopak mata yang sedang menatapnya terang-terangan. Tidak ada seorang wanita yang berani menatapnya, terlebih lagi dalam keadaan tidak berpakaian. Pria itu sempat menghentikan aktivitasnya menggosokkan handuk kecil ke rambut pendeknya hingga membuat rambut itu berdiri, berpikir apa yang seharusnya dia lakukan. "Pagi," sapanya dingin.
Mary merona, imajinasinya mungkin akan semakin liar jika saja Justin tidak menghentikannya. "Pagi," gadis itu duduk, memegang selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat-erat lantas memperhatikan Justin berjalan menuju ke kopernya untuk mengambil pakaian. Diam-diam Mary mengagumi bentuk tubuh itu. Tidak ada padanan kata lain yang tepat untuk menggambarkan tubuhnya, selain...sempurna ditambah aroma sabun yang menguar dari tubuh Justin membuat perutnya terasa berkontraksi.
"Apa kau mandi dengan air hangat?" Mary membuka suaranya yang terdengar serak, khas suara seseorang saat bangun tidur.
"Tidak, aku tidak mandi dengan air hangat."
"Kau bercanda? Mandi dalam cuaca sedingin ini?" tanyanya terkejut.
Pria itu hanya tersenyum samar sambil memakai sembarangan kaos hitam yang dia keluarkan dari dalam koper dengan gerakan yang begitu maskulin. "Aku sudah pernah bilang bahwa seorang prajurit mudah beradaptasi, Mary."
"Tapi kau bisa membangunkanku untuk membantumu merebuskan air hangat, kau bisa sakit. Ya—ya, walaupun aku tahu bahwa kau seorang prajurit, seorang Jenderal yang terbiasa dalam kondisi apapun, tetap saja kau punya kekebalan tubuh yang sama seperti rata-rata manusia biasanya." Mary berkata dengan cerewet, namun gadis itu segera terdiam saat memperhatikan sorot mata Justin yang tegas dan tajam sedang menatapnya. Oh shit. Ada apa sebenarnya? Kenapa Mary merasa mati kutu hanya karena ditatapan sedemikian rupa. "Aku hanya bercanda, sungguh. Jangan anggap kata-kataku serius," lantas dia tertawa samar, jenis tawa yang dipaksakan. "Kalau begitu aku akan membuatmu sarapan." Mary segera melempar selimut yang membalut tubuhnya dan dengan gerakan yang terburu-buru dia turun dari ranjang, lututnya sempat terpentuk nakas samping ranjang, nyaris saja terhuyung jika Justin tidak memegangi sikunya.
Gadis itu mendongak, menemukan pemandangan paling seksi di dunia sedang berada tepat di depannya, di dalam kamar.
"Hati-hati, tidak perlu terburu-buru, kau boleh tetap naik ke ranjang dan melanjutkan tidurmu. Ini masih terlalu pagi." Tangan Justin yang kokoh dan hangat masih berada di siku Mary, menyentuh kulitnya.
Naik ke ranjang dan melanjutkan tidurmu, entah itu undangan atau apa, Mary tidak mengerti namun kata-kata berhasil membuat emosi Mary dipermainkan. Nyaris sepanjang hidupnya, musim dingin adalah waktu terbaik untuk tidur dan bermalas-malasan, bergelung di ranjang hingga siang tanpa memikirkan waktu makan siang atau mandi. Tapi pria itu datang, di sini, di dekatnya dan membuat kehidupannya menjadi lebih terkendali.

YOU ARE READING
SUPERNOVA by Erisca Febriani
Fiksi Penggemarjust dreaming about justin bieber not written by me.