Part 10

53 2 2
                                    

Satu setengah jam berlalu. Mary masih berada di dalam helikopter bersama Justin yang duduk mematung di sebelahnya, sama-sama kaku dan tidak lagi berbicara apapun, membuat Mary enggan untuk meneguk ludah atau menarik napas. Sambil memandang ke luar, melihat sebuah bulan berukuran tiga perempat berwarna putih berkilau. Terlihat kontras di atas langit yang gelap mencekam.

            Helikopter menukik turun menimbulkan sensasi menakutkan bagi Mary. Di antara bunyi rotor dan denging terlinganya, terdengar denting berulang-ulang dari arah kokpit. Si pilot sedang berhubungan dengan semacam mercusuar penunjuk arah dan mengikuti intruksi dari sana.

            Bandara sudah terlihat di bawah, ketika menukik menuju ke landasan itu, helikopter mulai terombang-ambing naik-turun dalam gelombang angin yang sangat kuat bercampur deru salju. Terdengar roda pendaratan keluar dengan suara keras dan helikopter mulai berjalan di atas landasan. Mesin jet di belakang terdengar meraung saat helikopter memperlambat laju.

            Mary bernapas lega saat mereka mendarat dengan selamat. Pintu kabin mulai terbuka, sementara Mary segera melepaskan sabuk pengamannya dan melepaskan helm sambil meletakkannya di atas kursi.

            "Di luar banyak wartawan," kata Justin sambil melirik sepuluh orang wartawan sedang menunggu mereka, mengambil banyak foto hingga kilatan blitz terasa memekakan mata. "Dan juga bibi serta pamanmu."

            Ada paman John dan istrinya di antara kerumunan wartawan—beberapa lainnya adalah personel tim keselamatan sudah menunggu di sana, Mary menatap Justin dengan mengernyit. "Lalu kenapa?"

            "Kalau kau masih marah padaku, setidaknya jangan tunjukkan di hadapan mereka."

            Si Jenderal dengan harga dirinya yang tinggi, Mary membatin keki dalam hati. Sesungguhnya ya, dia bukan hanya marah tapi juga masih trauma. Membunuh seseorang adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan, walaupun mungkin bagi Justin itu adalah sesuatu yang biasa, pria itu menganggap Theo sebagai musuhnya. "Terserah, aku ingin turun," balasnya sengit dan tidak lagi memedulikan Justin.

            Gadis itu melangkah turun melewati tangga yang muncul di helikopter, melihat jepretan blitz seketika menyambarnya tanpa henti. Mary menarik napas panjang lantas berlari menghampiri Paman Jon dan bibinya.

            "Ya Tuhan, Mary! Aku benar-benar bahagia melihatmu sehat seperti ini, saat mendengar berita bahwa kau ditemukan, aku langsung ke bandara." Istri Paman Jon—Cole namanya, segera memeluk Mary erat-erat, "Aku mencemaskanmu." Masih dengan pelukan yang begitu erat, Mary memejamkan matanya. Bersyukur bahwa dia sudah sampai di Virginia.

            "Tentu saja dia baik-baik saja." Mary merasakan tangan hangat seseorang menempel di punggungnya. "Aku sudah berjanji untuk menjaga dan melindunginya dengan baik," suara itu terdengar berat dan dingin; milik Justin.

            Pasukan Angkatan Darat yang berjaga di sekitar mereka segera mengangkat tangan, memberikan penghormatan pertama mereka saat melihat Sang Jenderal baik-baik saja.

            Cole melepaskan pelukannya dan tersenyum. "Terimakasih sudah menjaga keponakanku."

            "Bagus sekali, Nak." Paman Jon menganggukkan kepalanya. "Kakakku tidak pernah salah, dia memilih orang yang tepat untuk melindungi putrinya."

            "Selamat datang di Virginia, Jenderal." Seseorang berpakaian perwira berjalan mendekat, ikut bergabung dalam lingkaran.

            "Komandan Weston." Justin menganggukkan kepalanya. "Terimakasih sudah memimpin pencarian ini dengan baik, kau pantas diberikan penghargaan," balasnya dengan tatapan tegas khas prajurit.

SUPERNOVA by Erisca FebrianiWhere stories live. Discover now