Coast

36 2 0
                                    

Happy Reading!
..
.



"Hyunjoon! Sampai kapan kau seperti ini?"

Hyunjoon mengutipi satu persatu roti yang jatuh ke tamah dan kembali memasukkannya ke keranjang milik Seo Yun.

"Hwall, sudahla kita pergi saja." Seo Yun menarik baju Hwall untuk pergi.

Tiga orang preman ini tiba-tiba menghadang jalan dan merampas keranjang roti milik Seo Yun lalu mencampakkannya ke tanah.

"Kali ini aku melepaskan kalian." Hwall menarik tangan Seo Yun dan membawanya pergi.

Terdengar suara caci maki dan hinaan dari mereka berdua, Hwall terus menggenggam tangan Seo Yun dengan erat. Membawanya ke suatu tempat yang sangat indah ini.

Terlihat seperti bukit mini, tempat ini begitu sejuk karena sebatang pohon siprus dengan daun yang sangat lebat. Gaun selutut milik Seo Yun di terpa angin sejuk yang menyentuh kulit, dan memberikan sensasi ketenangan yang luar biasa.

"Hwall." Suara Seo Yun terdengar lirih.


Hyunjoon menoleh, ia sedikit kaget melihat Seo Yun kini menangis sangat sendu.

"Jangan menangis, mereka hanya preman. Sudahlah." Hyunjoon mengelap air mata Seo Yun yang terus mengalir deras dengan kedua tangannya.

Hyunjoon ini adalah pria penyayang dan sangat setia dengan kekasihnya. Namun sayang, kekasihnya harus mati di tangan musuh dengan tragis.

Seo Yun menggeleng pelan, ia menatap mata Hyunjoon.

Jantung Hyunjoon kini berpacu kembali pada tempo yang cepat. Namun, tatapan Seo Yun kali ini berbeda. Tatapannya seperti menunjukkan ketulusan yang begitu dalam dan rasa takut kehilangan yang seakan-akan tergambar jelas di kedua bola mata indah itu.

"Aku takut kehilangan dirimu."


*****


"Hyung, apa maksud ini semua? Kenapa kita berhenti di sini? Tujuan kita ke samudera Hindia, kenapa malah jadi berhenti di pulau ini."

Jimin tidak mau turun dari kapal, ia membiarkan Namjoon mengamati pesisir pantai bersama awak kapal lainnya.

"Jimin, lemparkan buku itu padaku." Namjoon meninggikan nadanya.

Tanpa basa-basi Jimin langsung melemparkan buku itu. Ia memutar bola matanya.

"Hyung, jangan terlalu kekanak-kanakan."

"Jim, yang terlalu kekanak-kanakan itu kau. Tidak tahu apa-apa diam saja, yakan?" Namjoon menyikut kapten kapal yang sejak dari tadi berdiri di sampingnya.

Namjoon membuka buku itu. Buku itu mengeluarkan cahaya terang berkilauan dengan serbuk-serbuk ajaib serta butiran mutiara yang berlangsung selama dia menit.

"Wow!" Namjoon menutup buku itu, ia tampak begitu takjub.

"Jimin, kau lihat itu? Ini benar-benar pulaunya." Namjoon tampak begitu senang.

"Pulau apa? Kau sudah gila ya hyung, sebegitu niatnya kau untuk bermain. Prank mu itu tidak laku bagiku."

Namjoon tertawa mendengar kalimat Jimin. Memang, Jimin tidak percaya akan adanya hal-hal magis atau berbau mistis. Baginya itu hanyalah dongeng belaka.

"Yah terserahmu. Aku hanya mengikuti apa yang di perintahkan oleh ayahmu." Namjoon membuka kembali buku itu, namun kali ini buku itu tidak mengeluarkan apa-apa lagi. Hanya saja, mengeluarkan harum semerbak seperti aroma roti baru saja di panggang.

"Seo Yun." Terlintas di pikiran Jimin sosok Seo Yun yang dengan cerianya mengeluarkan loyang kue dan meletakkan tepat di depannya. Seo Yun selalu menghadiahi Jimin dengan roti buatannya setiap hari.

Jimin menggelengkan kepalanya.

"Hyung!!!!" Ia turun dari kapal dan mendekati Namjoon.

"Apa maksud perkataanmu tadi? Kau di suruh oleh Ayahku? Apa yang ia katakan padamu?" Jimin tergesa-gesa dengan pertanyaannya.

"Membawamu kemari, dan menyelesaikan tugasmu." Dengan santainya Namjoon kini duduk di pasir pantai, matanya tak lepas dari halaman buku itu.

Jimin berjongkok.

"Hyung, sudah cukup! Aku ingin kau memberiku penjelasan!" Jimin merampas buku itu dari Namjoon.

Dia tahu, Namjoon ini memang suka bercanda dengannya, tapi kali ini Jimin merasa bahwa apa yang di lakukan Namjoon padanya terasa begitu aneh.

Namjoon tak ahli dalam hal-hal seperti mengendalikan alam, atau melakukan sihir.

"Hah." Namjoon membuang nafas kasar.

"Kenapa tiba-tiba kau menjadi lamban Jim?" Namjoon melipat kedua tangannya.


Jimin menampilkan wajah bingung, dia benar-benar tak mengerti dengan semuanya.

"Ayahmu, menyuruhku ikut denganmu untuk memecahkan dan membianv sebuah kutukan yang melekat padamu." Namjoon menjelaskan.

Jimin mencoba mencerna kalimat itu, tapi sepertinya ia tak paham juga.

"Jim, ini adalah Pulau Laji Bo La La atau biasa di sebut Pulau Duyung. Buku ini berasal dari sini." Namjoon mengambil kembali buku itu.

"Lalu, apa hubungannya denganku?" Jimin masih tak mengerti.

"Kau dikutuk bersamaan dengan buku ini." Namjoon mengangkat buku itu, menampilkan sebuah tulisan tegak bersambung.

Jimin sedikit mendekat, "Moon Jimin? Kenapa ada namaku di sana?" Jimin semakin tidak mengerti dengan semuanya.

"Karena buku ini milikmu, berisikan tentang bagaimana cara kau melepaskan kutukan itu. Semuanya ada di buku ini, hal yang harus kau lakukan adalah mengikuti prosedurnya dengan benar."

"Bagaimana dengan kutukan? Kutukan apa yang melekat padaku?" Jimin mulai memahaminya.

"Kutukan itu adalah..." Namjoon menghentikan kalimatnya. Jimin memiringkan kepalanya, menatap Namjoon dengan tatapan tegas dan penasaran.

"Jika kau berhasil mengikuti semua prosedur di dalam buku ini, jawabannya hanya ada satu tentang kutukanmu." Namjoon membuka buku itu, membuka halaman paling belakang.

"Takdirmu, sudah tertulis di dalam buku ini." Namjoon terdiam seketika.

Jimin mulai paham dengan semuanya.

"Jadi maksudmu, hal yang kulakukan nanti tidak berguna sama sekali kan? Karena seberapa baik dan kuatnya diriku menjalani prosedur itu, sama saja apa yang di tentukan dalam halaman terakhir buku itu adalah takdirku yang sebenarnya?" Jimin benar.

Satu persatu prosedur yang akan ia jalani nanti hanyalah sebagai sandiwara belaka, karena memang takdirnya sudah tertulis rapih di halaman terakhir buku itu.


HIRAETH // BLIND LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang