Prolog

4.3K 247 56
                                    

"Makasih ya ..." kata seorang gadis sambil mengulum senyum tipis. Bulu matanya yang lentik bergerak lembut tanpa berani menatap lelaki di sampingnya.

"Kamu udah bilang itu tadi." Jawab pemuda itu dengan suaranya yang berat.

"Tapikan aku cuma pengen terima kasih, kamu nggak suka?" Tanya Melia sedih.

Melia menunduk menatap kedua tangan di atas pangkuannya. Menggigit bibirnya diam-diam saat air mata mendesak keluar. Selalu seperti ini. Dia benci dirinya yang cengeng. Sikap dingin Alan selalu membuat Melia sedih.

Melia memilih menyandarkan kepala ke jendela mobil saat suasana di dalamnya terasa mencekam. Tidak ada obrolan apapun. Bahkan untuk bernapas pun, Melia harus memperhitungkan dengan baik. Tidak ingin mengganggu seseorang di sampingnya.

"Turun." perintah Alan sebelum keluar dari mobilnya.

Melia buru-buru melepas seatbelt yang membelit tubuhnya kemudian mengejar Alan yang lebih dulu masuk ke rumah makan. Gadis itu menarik lengan Alan yang akan duduk.

"Alan, kenapa ke sini?" tanya Melia memiringkan kepala tidak mengerti.

"Aku lapar."

"Tapi sebentar lagi kita sampai." kata Melia tidak terima.

Bukankah ini sama dengan membuang waktu. Sekitar sepuluh kilometer lagi mereka akan sampai.

"Aku lapar." Jawab Alan penuh penekanan.

"Tapi ..."

"Duduk." perintah Alan seraya menarikkan kursi untuk Melia.

Melia menurut. Gadis itu akan duduk di hadapan Alan sebelum pemuda itu menarik lengannya dan membuat Melia duduk manis di sampingnya. Melia tahu ... lelaki itu terlalu pemaksa. Apapun harus sesuai dengan keinginannya.

***

Alan menepuk lembut pipi Melia yang tertidur di sampingnya. Mereka sudah sampai dan Melia yang Alan tahu kekenyangan setelah menghabiskan sepiring nasi tidur pulas selama perjalanan. Kerjapan mata membuat Alan terkesiap.
Pemuda itu sontak menjauhkan tubuhnya yang entah sejak kapan mendekat pada Melia. Aroma tubuh Melia memang telah lama membuatnya khilaf. Belum lagi dengan wajah cantik dan polos Melia membuat hati dan perut Alan bergejolak.

"Sudah sampai?" tanya Melia dengan suara yang masih serak.

"Hm."

"Padahal aku baru tidur sepuluh menit," gerutunya sambil membuka pintu mobil.

"Aku bahkan tidak tidur."

Mendengar celetukan Alan, Melia membeku. Perasaan bersalah merayapi hatinya.

"Maaf ..." ucap Melia kemudian keluar dari mobil.

Memasuki rumah yang masih sama saat dia tinggalkan, Melia tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Gadis itu berteriak nyaring saat mengucap salam.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, Mbak!" teriakan yang tidak kalah melengking dari dalam rumah membuat Melia tersenyum lebar.

Adiknya. Sosok anak perempuan yang baru masuk masa pubertasnya berlari memeluk Melia.

"Aulia, kamu nggak ada les?" tanya Melia mengusap kepala adiknya.

Adik yang dulu sering dia jahili sampai menangis sudah besar. Melia mengeratkan pelukannya. Rasanya sudah seperti setahun tidak bertemu, padahal tiga bulan lalu mereka bertemu dan beberapa hari lalu mereka melakukan panggilan video.

"Lia, kamu sudah sampai?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dari arah dapur. Disusul pria paruh baya yang dengan apron terpasang di tubuhnya.

Rahasia Cinta MeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang