Menghadapi Nenek

2.1K 171 22
                                    

Sepulangnya dari liburan dadakan yang para sepupu Melia adakan, sekarang gadis itu kembali bergelut dengan tugas kuliahnya yang menumpuk. Dia masih menunduk untuk memeriksa desain dasar yang baru dia buat meskipun telinganya mendengar suara pintu yang terbuka.

"Mbak nggak jadi ke rumah Nenek?"

Aulia memutar bola matanya melihat kakaknya yang sibuk dengan dunianya. Anak perempuan itu kemudian mendekati Melia, dan mengambil salah satu buku sketsa yang bertumpuk di sebelah kakaknya. Membuka buku itu hingga ke lembar paling belakang. Rasa penasaran yang tinggi membuat Aulia membalik halaman terakhir itu. Di sana, ada sketsa kasar wajah seseorang. Meskipun belum selesai dibuat, Aulia sudah tahu wajah siapa itu. Alan.

"Dek?"

Mendengar panggilan Melia membuat Aulia menutup buku sketsa kakaknya cepat. Aulia mendongak menatap Melia yang mengerutkan dahi.

"Kenapa Mbak?" tanya Aulia dengan suara kecil. Dia sudah seperti maling yang tertangkap basah.

"Kamu tadi bilang apa?"

"Apa?"

"O Oh itu, Mbak nggak jadi ke rumah Nenek? Itu bang Alan udah nunggu di luar." Jelas Aulia cepat saat melihat delikan sebal Melia.

***

"Kamu gugup?" tanya Alan saat melihat Melia yang pucat di sampingnya.

Gadis itu kali ini mengenakan gamis merah jambu yang terlihat lucu karena gamis itu terlihat kebesaran di tubuhnya. Melia bukan gadis yang tergolong mungil, gadis itu lebih tinggi dari teman-temannya. Tapi bagi Alan, Melia tergolong kecil karena dia hanya sebatas dagunya. Alan harus menekuk kakinya untuk bisa melihat wajah Melia yang sering memerah.

"Tenang, Mel. Jangan gugup seperti ini. Kamu harus berani. Ok?" ujar Alan kemudian meraih tangan Melia yang saling meremas di atas pangkuannya. Pemuda itu menggenggam erat tangan Melia yang terlihat kecil.

"Ok." jawab Melia pelan.

"Dia Nenek kamu sendiri."

Melia menganggukkan kepala, tangannya yang berkeringat dingin masih berada di dalam genggaman tangan hangat Alan.

"Ekhem."

Alan melepaskan tangan Melia kemudian berpindah tempat duduk setelah mendapat tatapan tidak suka dari nenek Melia yang sebelumnya menyambut Alan dengan tangan terbuka. Pemuda itu duduk di sofa single yang berbeda dengan Melia.

"Nenek," panggil Melia pelan. Gadis itu masih belum berani menatap neneknya.

Sang nenek, duduk dan menatap cucunya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya yang tua masih jeli melihat raut bingung di wajah Melia.

"Kenapa? Bicaralah yang jujur, Kamu masih menganggap Nenek sebagai Nenek kamu kan?" ucapnya tenang. 

Mendengar pertanyaan yang Nenek lontarkan membuat Melia menggigit bibir. menahan tangis. Sudah sejak lama sang Nenek mejaga jarak dengannya. Melia merasa jika Neneknya tidak suka padanya. Hal itu terjadi begitu saja. Setiap dua sepupunya pulang dari pesantren, Melia seolah tidak pernah dianggap oleh keluarga besarnya. Hanya orang tua dan adiknya yang akan menganggapnya ada. Mengalihkan perhatian Melia hingga tidak harus melihat para sepupunya lagi.

Melia tidak tahu kenapa tapi keluarga besarnya selalu ingin jika anak perempuan mereka masuk ke pesantren dan bukan sekolah formal seperti yang Melia lakukan.

"Nek, bisakah jika Mbak Nova..."

"Nova? Maafkan Nenek, Nenek belum beritahu kamu. Beberapa waktu lalu Ustad Wildan datang melamarmu. Nenek kira Ustad Wildan melamar Nova, tapi ternyata dia melamarmu." 

Nenek berujar seraya menyesap teh yang dibuatkan oleh Nova. Nova yang Melia tahu sekarang tengah duduk di ruang keluarga. Melia tidak ingin menuduh, tetapi sikap Nova menunjukkan kalau gadis itu tengah mencuri dengar?

"Akhirnya dia melamar Nova. Tapi kamu tenang saja karena Nova berniat membatalkan taarufnya dengan Ustad Wildan. Dia merasa tidak berhak menerima lamaran yang ditunjukkan untukmu. Bukankah kakak sepupumu terlalu baik hati?"

"Ya, Nova memang baik. Dari kecil dia dididik untuk menjadi perempuan yang lemah lembut dan penyayang. Nenek yakin jika Nova akan menjadi istri yang sempurna."

Pujian-pujian yang Nenek layangkan untuk Nova seperti menampar Melia. Gadis itu semakin menggigit bibirnya dengan mata yang berembun. Tatapannya nanar saat melihat kedua tangannya yang saling meremas di atas pangkuannya.

"Nenek. Melia bukan ingin menanyakan hal itu." ucap Melia dengan suara yang bergetar, menghentikan sang Nenek yang akan melanjutkan celotehannya tentang Nova.

"Melia hanya ingin meminta. Bisakah..."

Ucapan Melia terhenti karena isakannya yang tiba-tiba lolos. Melia tidak bisa menahan diri. Melia menggigit bibirnya makin keras hingga rasa asin memenuhi mulutnya. Bibirnya terluka.

"Hiks"

Alan mengepalkan tangannya saat mendengar isakan pilu yang keluar dari mulut Melia. Dia ingin merengsek maju untuk memeluk Melia, tapi tubuhnya seperti dipaku di tempat. Alan bisa menerima semua hal yang ada pada Melia. Semua kelebihan dan kekurangannya. Entah sejak kapan kesedihan gadis itu mempengaruhinya. Hingga rasanya Alan ingin menghancurkan segala hal yang membuat Melia sedih.

"Bisakah Melia tidak mengalah lagi? Tidak. Melia tidak akan mengalah." Kata Melia tegas. Gadis itu mengusap pipinya kasar hingga memerah.

"Maksud kamu?" tanya Neneknya dengan dahi terlipat tajam.

"Alan. Melia tidak bisa memberikan Alan kepada Mbak Nova. Melia tidak akan mengalah lagi!"

"MELIA! JANGAN EGOIS!"

Wanita tua itu berteriak sembari mengebrak meja dengan tangan keriputnya. Membuat Nova yang sendari tadi menguping, muncul dan mengusap bahu neneknya.

"Nova sudah baik akan melepaskan Wildan untukmu, tapi kenapa balasan yang kamu berikan seperti ini?" hardik neneknya keras.

Melia membuka matanya kemudian mendongak untuk menatap sang Nenek.

"Melia egois? Melia egois untuk kebahagiaan Melia."

"Kebahagiaanmu? Kamu memang tidak pernah memikirkan kebahagiaan orang lain. Termasuk keluargamu!"

"Bagian mana Melia tidak memikirkan orang lain? Sejak kecil apapun yang Melia punya Melia berikan buat Mbak Nova dan Mbak Puput. Semua yang mereka minta, Melia berikan. Terutama Mbak Nova karena Mbak Nova pasti meminta langsung ke Nenek." Melia menangis dengan suara terisak berat.

"Kenapa Nenek hanya memikirkan kebahagiaan Mbak Nova? Kenapa selalu nama Nova yang ada di pikiran Nenek?!" tanya Melia sesenggukan.

Berkali-kali Melia mengusap kasar pipinya. Tidak perduli jika mungkin saja wajahnya akan terluka terkena kuku.

"Karena kamu bukan cucu yang nenek harapkan."

Ucapan neneknya bagai petir yang menyambar Melia. Petir yang merobohkan tembok besar yang dengan susah payah Melia bangun.

TBC

Cerita ini dilanjutkan di google play book. Jika berkenan bisa beli. Dan jika tidak ya tidak apa-apa. Tidak wajib kok. 

Di sini aku mau minta maaf atas kesalahan yang sengaja atau yang tidak sengaja aku buat. Masuk bulan ramadan, kita bersihkan hati ya. Buang dendam jauh-jauh. Jangan saling membenci. Kita saling memaafkan ya? 

Rahasia Cinta MeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang