01 Az & As

23.5K 775 205
                                    

Ashilla baru saja tiba di sekolah baru, diantar oleh sang papa. Sebenarnya ia tidak ingin pindah sekolah, karena Ashilla yakin, akan kesulitan mendapatkan teman. Ashilla sudah sangat nyaman berada di sekolahnya dulu, walaupun  hanya mempunyai sahabat satu. Tapi keputusan papanya sangat mutlak, dan tak bisa diganggu gugat. Sehingga Ashilla mau tak mau harus mengikuti keinginan sang papa.

Ashilla dan Sean kini tiba di kantor kepala sekolah SMA Cahya Bangsa. Sean mengetuk pintu beberapa kali, sehingga pintu pun terbuka oleh sang pemilik, menunjukkan pria paru baya yang masih tampak segar bugar, dan begitu berwibawa.  
         
“Permisi. Dengan Pak Andri?”
         
“Saya sendiri. Silakan masuk Pak,” ucap Pak Andri, kepala sekolah SMA Cahya Bangsa yang baru. Ia mempersilahkan Ashilla dan papanya untuk masuk.
         
“Saya sudah menyelesaikan berkas-berkasnya,” ucap Sean membuka topik pembicaraan. Sean Wijaya adalah papa dari gadis bernama Ashilla Airen Wijaya, yang sekarang kini duduk di sebelah papanya. Sean memberikan sebuah map biru kepada Pak Andri, yang berisi data-data dan prestasi Ashilla di dalamnya.
         
Pak Andri menerima map tersebut, kemudian menatap Ashilla yang ada di hadapannya. Gadis itu mempunyai rambut lurus, kulit yang putih, dan wajahnya yang sedikit pucat. Pak Andri memaklumi hal itu, karena Ashilla murid baru, mungkin ia akan sedikit gugup. “Inikah yang namanya Ashilla?” tanya Pak Andri dengan senyum ramah. Ashilla mengangguk sebagai jawaban. “Iya, Pak.” balas Ashilla dengan singkat. Tak lupa dengan senyum tipis. Ashilla tak mau memberi kesan buruk di pertemuan pertamanya.
         
Sean yang merasa urusannya sudah selesai pun berpamitan. Karena Sean masih mempunyai tugas di kantor. “Saya masih ada pekerjaan. Saya titipkan Ashilla kepada Pak Andri. Ada urusan yang lebih penting.” ucap Sean diangguki oleh Pak Andri.
         
Ashilla menatap sang papa dengan tatapan kecewa. Dengan mudahnya Sean menitipkan Ashilla kepada orang asing yang baru saja ia temui. Hatinya tercubit nyeri mengingat Sean lebih memilih pekerjaan dibandingkan dirinya. “Papa lebih pilih pekerjaan dibandingkan Ashilla. Papa tega titipin Ashilla ke orang yang belum Ashilla kenal. Apa pekerjaan lebih penting dari anak sendiri?” batin Ashilla.
         
“Baik Pak. Sekolah menjamin keselamatan putri anda. Anda tidak perlu khawatir. Ashilla berada di pengawasan sekolah.” jelas Pak Andri.
        
“Terima kasih,” ucap Sean, yang langsung pergi begitu saja meninggalkan ruangan tersebut. Ashilla menatap punggung papanya dengan nanar. Sungguh, Ashilla merindukan Sean yang dulu. Papa yang menjadi sosok panutannya. Tapi semua telah berubah saat Sean membawa anak dan wanita yang mengaku sebagai istrinya. Hal itu yang membuat jarak antar Ashilla dan Sean semakin melebar.
         
“Kelasmu di XI IPA 3.” ucap Pak Andri memecahkan lamunan Ashilla. Ashilla mengangguk pelan. “kalo boleh tahu, kelasnya di sebelah mana ya Pak?” tanya Ashilla yang terlihat gugup.
         
“Ayo ikut saya ke kelas, biar saya yang antar, karena wali kelasmu sedang mengajar.” ajak Pak Andri. Ashilla pun mengikuti Pak Andri dari belakang menuju kelas barunya, XI IPA3.
         
Koridor tampak sepi karena murid sedang belajar di kelas. Sekolah ini tampak begitu bersih, dan asri. Masih ada pohon yang tumbuh di sekitar sekolah membuat kesan segar bagi Ashilla. Pantas saja Sean menyekolahkan dirinya di sini. Selain fasilitas sekolah yang lengkap, SMA Cahya Bangsa diisi banyak murid berprestasi. Setiap tahunnya, universitas di Indonesia menerima lulusan Cahya Bangsa. Hal itu yang menjadi poin plus sekolah ini.
         
Tapi, tak semua hal baik ada di sini. Ada juga hal buruk, seperti tindakan bullying yang masih dilakukan murid-murid di sekolah ini. Entah dari mengejek orang tua, atau bahkan dibully habis-habisan sampai depresi dan berakhir bunuh diri. Ya, hal itu masih sering terjadi. Sebagus-bagusnya sekolah, tak memungkinkan bahwa aksi bullying dihentikan. Walaupun sistem sekolah sudah mencantumkan dilarang bullying, tetap saja ada siswa yang melanggar.
         
Pak Andri mengetuk pintu kelas yang bertuliskan XI IPA3. Ashilla tetap berada di belakang sembari meremas tali tasnya sendiri. Ia begitu gugup, sampai keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ashilla sangat malu, pikiran buruk mulai memenuhi isi kepala.
         
“Pagi anak-anak,” sapa Pak Andri saat memasuki kelas diikuti Ashilla dari belakang.
         
“Wah, siapa tuh? Cantik banget,” bisik Rendi kepada teman sebangkunya. Erza menatap Rendi dengan malas. “Apaan sih lo? Liat yang bening aja langsung bilang cantik,” cibir Erza. Rendi tertawa geli melihat reaksi Erza yang sudah biasa baginya. Sebenarnya Rendi heran mengapa Erza tak pernah tertarik dengan wanita, atau sekedar memujinya. Rendi menjadi curiga jika sebenarnya Erza tidak suka perempuan.
         
“Lo gay?”
         
“Anj-“ umpatan Ezra tertahan saat guru di depan kelas membuat suara, sehingga ia tak bisa sembarangan mengumpat. Apalagi di kelas ada kepala sekolah, bisa dihukum Ezra jika kelepasan berkata kasar. “gue normal.” Desis Erza, yang sekarang menggerutu kesal di tempatnya, terus mengumpati Rendi yang bisa-bisanya menyebutnya seorang gay. Ezra tentu masih normal, hanya saja ia belum tertarik dengan apa yang dinamakan cinta.
         
“Silakan perkenalkan diri,” suruh Bu Risma, guru yang kebetulan sedang mengajar di kelas tersebut.
         
“Hai, gue Ashilla Airen Wijaya, pindahan dari SMA Galaksi. Salam kenal semuanya,” ucap Ashilla dengan senyum tipis.
         
”Salam kenal Ashilla.” balas semuanya.
         
Mendengar balasan mereka membuat Ashilla bernafas lega. Setidaknya mereka menerima Ashilla di kelas ini. Perlahan pikiran buruk tentang pembullyan pun hilang dalam benaknya. Tidak ada yang perlu Ashilla takutkan lagi. Tak apa jika Ashilla tak mendapatkan teman, asalkan ia bisa belajar dengan tenang di sekolah ini, hal itu sudah cukup untuk Ashilla.
         
“Silakan duduk di belakang Ashilla, karena hanya itu bangku yang tersisa.” suruh Bu Risma, yang dibalas anggukan oleh Ashilla. Ashilla pun berjalan melewati bangku teman-temannya, Ashilla hanya tersenyum menanggapi sapaan mereka. Sampai di bangku, Ashilla duduk sendiri. Ashilla tak keberatan dengan hal itu.

Az & As Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang