Lima Belas ; Hurt

237 44 3
                                    

vote nya jangan lupa wkwk💚












































Gue sampai rumah jam 7 pagi dan masih dengan seragam pramuka lengkap. Begitu juga dengan bang injun, karena dari tempat kemah kita langsung ke Jakarta.

"Mama harap, kamu bisa ikhlas, ya," mama Jisung, mama Wendy ngusap bahu gue juga bang injun.

Gue kali ini gak bisa nangis. Gue cuma menatap jenazah bunda dengan kosong. Air mata gue rupanya udah abis. Gue juga cukup lelah sekarang.

"Kamu mending mandi dulu, Renjun juga. Nanti kita baru ke pemakaman jam 9. Buat kalian khususnya Hira, gausah ikut, ya? Perempuan gak diwajibkan ikut serta pemakaman," lanjut mama Wendy.

Gue hanya mengangguk dan ngikutin bang injun ke atas.

"Abang mandi di kamar kamu aja. Abang nunggu kamu sambil tiduran sebentar. Kalo abang tidur, bangunin ya," bang injun ngacak kepala gue lalu pergi ke kasur.

Dibawah shower, gue kembali nangis. Ga nyangka dengan semua ini. Gue pulang ke rumah dan beneran mendapatkan bunda terbujur kaku.

"Bunda.. kenapa secepat ini?" Gumam gue, sesekali gue memukul dada karena rasanya begitu sesak.

Selesai mandi, gue bangunin bang injun. Gue paham banget, bang injun sama hancurnya kaya gue. Lelah, marah, sedih, semua pasti campur aduk.

"Bang.. Hira udah selesai,"

"Hm? Yaudah, kamu tidur aja. Abang mandi dulu,"

Gue ngangguk lalu berbaring. Rasanya gue pengen kalau gue tidur, dan nanti saat bangun semua ini hanya mimpi.

Haha, sayangnya kemungkinan itu ga ada.














































Gue bangun dan mendapatkan dahi gue basah, bang injun juga genggam tangan gue . Dia tidur sambil nyender di kasur.

"Bang..."

"Eh? Kamu udah bangun?"

"Kenapa Hira di kompres? Terus, kok abang ga ikut ke pemakaman?"

Bang Renjun menghela napas lalu dia duduk di samping gue. Tangannya ngelus pipi gue.

"Kamu pingsan dua hari, sayang. Saat dimana kamu mau ikut ke pemakaman, pas mau turun tangga, kamu malah pingsan," jelasnya.

"P--pingsan?!"

"Mungkin kamu gak inget, tapi itu emang faktanya," jawab bang injun.

"Terus, ayah gimana?" Tanya gue hati hati.

"Ayah masih.. kritis. Abang juga belum kesana, om Kun yang sekarang ada di sana," jawab bang Renjun.

Gue diam dan nunduk. Gue kembali sesak dan gue menahan semuanya. Jangan sampai gue nangis.

"Bang, Hira mau ketemu ayah," lirih gue.

"Nunggu kamu baikan, ya?"

"Hira udah baikan. Hira mau ketemu ayah."

Bang Renjun lalu meluk gue. Gue mau nangis tapi gue tahan, gue gak mau bikin beban buat bang Renjun.

"Abang tau, kamu mau nangis. Gausah ditahan. Silahkan nangis kalo itu bikin kamu jadi lega,"

"Gak, Hira gak mau nangis. Nanti abang sedih. Hira gak akan nangis," gue meluk erat bang injun.

"Sebenernya, abang mau nangis. Tapi abang inget, masih ada kamu. Kalo abang sedih, gimana mau bikin adik abang ini tersenyum lagi?"

[✓]Candu, JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang