"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Glarrr...!
Malam yang seharusnya sunyi, mendadak saja dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras yang disusul ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya, seluruh daerah disekitar kaki Gunung Puting jadi bergetar seperti ada gempa. Tampak letupan api membubung tinggi ke angkasa dari balik lereng sebelah barat. Kepulan asap hitam mengepul bercampur debu dan pecahan bebatuan menyebar ke angkasa.
Di antara kepulan debu yang menyebar tertiup angin, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tengah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh. Kedua tangannya yang mengepal, tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat memancar begitu tajam, menatap lurus pada seorang wanita tua yang berdiri dengan tumpuan sebatang tongkat. Jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak saja.
Satu sama lain saling berdiri tegak berhadapan dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Tapi tidak lama kemudian, terlihat cairan kental berwarna merah agak kehitaman merembes keluar dari sela-sela bibir keriput wanita tua yang berjubah putih panjang dan longgar itu. Lalu sebentar saja, tubuhnya mulai limbung. Dan...
Bruk!
Seperti pohon yang tumbang tertiup angin, tubuh wanita tua itu ambruk ke tanah. Sama sekali tidak terlihat ada gerakan. Sementara, pemuda yang mengenakan baju ketat warna merah muda itu tetap berdiri tegak memandangi.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, pemuda itu melangkah perlahan menghampiri tubuh perempuan tua yang membujur kaku tidak bergerak-gerak lagi. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi. Dipandanginya tubuh tua yang sudah tidak bergerak-gerak, tergeletak kaku ditanah berumput cukup tebal ini.
"Aku sudah memperingatkanmu, Nyi Langir. Tapi, kau memaksa. Maafkan aku...," desah pemuda itu perlahan.
Dia berlutut di samping tubuh perempuan tua yang dipanggil Nyi Langir. Lalu tangannya bergerak ke wajah yang sudah keriput memucat ini. Tampak darah masih terlihat mengalir dari sela-sela bibir Nyi Langir. Kelopak mata yang tadi terbuka, kini tertutup begitu telapak tangan pemuda ini terangkat dari wajah yang pucat dan keriput itu. Sambil menghela napas panjang, pemuda berwajah cukup tampan ini bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya wanita tua itu. Kemudian, tubuhnya berbalik dan melangkah pergi.
Begitu perlahan dan ringan ayunan langkah kaki pemuda itu, pertanda memiliki kepandaian tinggi. Sementara, kegelapan masih terus menyelimuti lereng Gunung Puting sebelah barat ini. Namun baru saja berjalan sejauh tiga batang tombak, mendadak saja....
Wusss!
"Heh?! Ups...!"
Pemuda tampan berbaju ketat warna merah muda itu cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu pendengarannya yang tajam menangkap desir angin halus dari belakang. Saat itu juga, terlihat sebuah benda yang tampaknya sebatang anak panah berukuran pendek, melesat cepat bagai kilat di samping bahu kirinya. Kemudian cepat-cepat kakinya ditarik ke kanan dua langkah, dan tubuhnya diputar hingga berbalik lagi.
Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat menerjang ke arah pemuda itu. Maka seketika kedua bola mata-nya jadi terbeliak lebar. Namun dengan gerakan begitu manis dan cepat, tubuhnya ditarik ke kiri, hingga tangan kirinya hampir menyentuh tanah. Maka bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.
"Hap!"
Cepat-cepat pemuda berbaju merah muda itu melompat sambil memutar tubuhnya berbalik. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya putih bersih dan begitu ketat potongannya, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Di tangan kirinya tergenggam sebatang pedang yang masih tersimpan dalam warangka.
"Ki Jalaksana...," desis pemuda itu langsung mengenali laki-laki yang muncul dan langsung menyerangnya tadi.
"Kau tidak bisa seenaknya pergi dari sini, Pranggala. Korbanmu sudah cukup banyak. Malam ini juga kau harus bayar segala dosa-dosa yang kau perbuat," terdengar begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya yang dikenali sebagai Ki Jalaksana itu.
Sorot mata Ki Jalaksana juga terlihat begitu tajam dan memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus tubuh pemuda tampan yang bernama Pranggala. Sementara pemuda itu hanya diam saja. Dibalasnya tatapan mata yang tajam itu dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Hingga beberapa saat, mereka saling bertatapan. Seakan-akan, satu sama lain tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki. Sedikit Pranggala menggeser gagang pedang yang tergantung di pinggang.
"Kau rupanya sama seperti yang lain, Ki Jalaksana. Entah dosa apa yang telah kubuat, hingga semua orang tidak ada lagi yang mau percaya padaku," ujar Pranggala, terdengar agak perlahan suaranya.
Tapi dari kata-katanya, jelas tersirat satu nada penyesalan. Seakan-akan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pranggala. Sesuatu yang membuatnya terpaksa harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, seperti Nyi Langir. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri menantang seorang laki-laki yang juga sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan.
Ki Jalaksana memang tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah begitu ternama. Dan di dalam rimba persilatan, dia dikenal berjuluk Malaikat Putih Berambut Merah. Memang, warna rambut Ki Jalaksana merah seperti api. Rambut yang panjang itu tergelung ke atas, dengan sedikit anak rambut dibiarkan menjuntai dekat telinga.
"Tidak perlu banyak bicara, Pranggala. Sebaiknya menyerah saja, agar aku tidak perlu susah-susah membawa kepalamu pada Ki Tunggul Santak!" terasa ketus sekali nada suara Ki Jalaksana.
"Begitu berartikah kepalaku bagi Ki Tunggul Santak...?" suara Pranggala terdengar menggumam.
"Bukan hadiahnya yang membuat langkahku sampai ke sini, Pranggala. Tapi, tindakanmu yang membuat hatiku tergerak. Dengar, Pranggala! Meskipun Ki Tunggul Santak tidak memberi hadiah pun, aku tetap akan mencarimu untuk menghentikan semua sepak terjangmu yang memuakkan!" tegas Ki Jalaksana lantang.
"Kalau begitu, maaf. Aku terpaksa tidak sudi melayanimu, Ki Jalaksana. Hanya mereka yang tergiur janji-janji muluk Ki Tunggul Santak saja yang pantas menghadapiku. Sedangkan aku tahu siapa dirimu, Ki Jalaksana. Sekali lagi maaf...."
Setelah berkata demikian, cepat sekali Pranggala memutar tubuhnya. Dan pemuda itu langsung melesat cepat bagai kilat.
"Jangan harap bisa lari dariku, Pranggala! Hiyaaa...!"
Ki Jalaksana tidak sudi rnembiarkan pemuda itu pergi begitu saja. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuhnya langsung saja melesat mengejar. Dan saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat ke depan, setelah masuk ke dalam bajunya yang ketat.
Wusss!
Seketika sebuah benda berbentuk seperti anak panah berukuran kecil melesat, mengejar Pranggala yang berlari dengan kecepatan tinggi. Desir angin senjata rahasia Ki Jalaksana membuat Pranggala terpaksa harus melenting ke atas dan berputaran dua kali, untuk menghindari serangan senjata rahasia Ki Jalaksana dari belakang.
"Hap!"
Manis sekali pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di saat Ki Jalaksana melompat dengan kecepatan bagai kilat. Dan laki-laki setengah baya itu langsung melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Huh! Haps...!"
Namun, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Malah kedua tangannya dihentakkan ke depan, menyambut pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana. Begitu cepat hentakan tangan yang mereka lakukan, hingga benturan pun tidak dapat dihindari lagi.
Glarrr!
Satu ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu tangan satu sama lain beradu keras. Tampak Ki Jalaksana yang berada di udara terpental balik ke belakang, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Sementara, Pranggala terdorong beberapa langkah ke belakang. Daya dorongnya baru berhenti begitu punggungnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Brak!
Seketika pohon itu tumbang terlanda punggung Pranggala. Sementara itu, Ki Jalaksana manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Cepat kakinya digeser ke kanan, langsung menyiapkan jurus serangan lagi. Saat itu, Pranggala sudah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya terlihat begitu tajam memerah, bagai pancaran sepasang bola mata api yang hendak menghanguskan tubuh laki-laki yang bergelar Malaikat Putih Berambut Merah itu.
"Jangan harap dapat lolos dariku, Pranggala!'' desis Ki Jalaksana dingin menggetarkan
"Tidak ada pertentangan di antara kita, Ki Jalaksana. Dan sebaiknya, jangan mencari persoalan baru denganku," Pranggala mencoba mengalah.
"Phuih! Kau takut menghadapiku, Pranggala...?" ejek Ki Jalaksana memanasi.
"Tidak ada yang kutakuti, selama masih berpijak pada kebenaran."
"Kebenaran katamu.,.? Ha ha ha...! Jangan bicara kebenaran di depanku, Pranggala. Coba saja pikir. Apa semua yang telah kau lakukan benar? Jangan bermimpi, Pranggala. Tidak ada lagi tempat di seluruh jagat ini untukmu berpijak. Kepalamu bukan saja berharga seribu keping emas. Dan tindakanmu sudah membuat semua orang menginginkan kematianmu!" lantang sekali suara Ki Jalaksana.
"Hm...," Pranggala hanya menggumam perlahan.
"Bersiaplah, Pranggala...," desis Ki Jalaksana sambil menggeser kakinya beberapa langkah ke depan. Dan....
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Ki Jalaksana melesat menerjang pemuda itu dengan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pranggala tetap berdiri tegak menanti. Dan begitu pukulan tangan kanan Ki Jalaksana dekat, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan secara menyilang di depan dada.
"Hap!"
Namun dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti mata biasa, Ki Jalaksana cepat menarik pukulannya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meliuk ke kiri. Lalu, kaki kanannya dihentakkan ke arah lambung.
"Haps!"
Tapi Pranggala rupanya sudah bisa membaca gerak tipu Ki Jalaksana. Maka dengan gerakan yang manis sekali, tubuhnya mengegos. Dengan demikian tendangan menyamping yang dilepaskan Malaikat Putih Berambut Merah bisa dihindari. Cepat Pranggala menarik kakinya ke belakang tiga langkah, begitu berhasil menghindari serangan Ki Jalaksana.
"Hap! Yeaaah...!"
Tampaknya serangan Ki Jalaksana tidak berhenti sampai di situ saja. Buktinya cepat sekali tubuhnya sudah melesat menerjang sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun berkecepatan tinggi. Mau tak mau, Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan Ki Jalaksana hampir saja mendarat di tubuh pemuda ini, namun masih bisa dihindari dengan lentingan yang manis sekali.
Pertarungan mereka memang berjalan cepat sekali. Pukulan-pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran, dapat menghancurkan pohon hingga berkeping-keping bila terhantam.
"Hhh! Dahsyat sekali pukulannya...," dengus Pranggala perlahan. hingga suaranya tidak terdengar oleh lawan.
"Hup...!"
Pranggala mencari kesempatan dengan melompat ke belakang beberapa tindak. Dicarinya jarak untuk menghindari serangan beruntun itu. Pemuda itu menghembuskan napas berat, begitu berhasil menjaga jarak dengan si Malaikat Putih Berambut Merah.
"Huh! Kenapa kau menghindar, Pranggala?" dengus Ki Jalaksana dingin.
"Sudah kukatakan, aku tidak ada persoalan denganmu. Jadi sebaiknya jangan mencari persoalan baru, Ki Jalaksana," sahut Pranggala, terdengar agak jengkel nada suaranya.
"Kalau kau ingin persoalan, sekarang juga akan kubuatkan!"
"Hhh...!"
Pranggala benar-benar kesal melihat sikap si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Dia benar-benar tidak ingin bertarung melawan laki-laki berusia setengah baya itu. Tapi, tampaknya Ki Jalaksana memang tidak bisa lagi diajak damai. Bahkan kini sudah siap mengeluarkan jurus barunya yang pasti lebih dahsyat lagi. Sementara, Pranggala masih tetap berdiri tegak memperhatikan.
"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat..!"
Sret!
Cring!
Sambil berteriak nyaring, Ki Jalaksana melesat cepat sambil mencabut pedang di tangan kirinya dengan tangan kanan. Dan secepat kilat pula pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu dikebutkan, tepat ke arah kepala pemuda berbaju merah muda ini.
"Haps...!"
Namun hanya sedikit merundukkan kepala saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi-tinggi ke atas. Lalu, manis sekali kedua kakinya hinggap di atas batang pohon yang cukup tinggi, setelah berputaran beberapa kali.
Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga membuat Ki Jalaksana jadi terpana juga. Sementara, pemuda itu sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
"Maaf! Aku tidak ada urusan denganmu, Ki Jalaksana, " ucap Pranggala datar.
Dan belum lagi kata katanya menghilang dari pendengaran....
"Hup!"
Bagaikan kilat, pemuda itu melesat meninggalkan Ki Jalaksana yang masih terpana. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam yang berselimut kabut cukup tebal ini.
"Hhh! Tidak kusangka, ilmunya sudah begitu hebat dalam waktu lima tahun saja...," desah Ki Jalaksana.
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Jalaksana untuk mengejar. Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk mengejar. Ki Jalaksana memasukkan lagi pedang di tangan kanannya ke dalam warangka yang masih tergenggam di tangan kiri. Beberapa saat dia masih berdiri mematung memandang ke arah kepergian Pranggala.
"Pantas Ki Tunggul Santak rela mengeluarkan beribu keping emas untuk kepalanya...," gumam Ki Jalaksana lagi. "Dengan kepandaian yang begitu tinggi, dia pasti bisa menyebarkan keangkaramurkaan di seluruh jagat ini. Hhh...! Sayang jalan yang dipilihnya salah. Aku sendiri.... Hm, rasanya sulit luga untuk menandinginya."
Ki Jalaksana jadi berbicara sendiri. Suaranya terdengar menggumam perlahan. Memang baru kali ini Ki Jalaksana bisa bentrok, walaupun sudah mengenal pemuda itu sejak Pranggala masih bau kencur. Tapi sekarang, Pranggala bukanlah yang dulu lagi. Kepandaiannya sekarang begitu dahsyat, setelah menghilang hanya dalam waktu lima tahun saja. Kehebatannya memang patut diacungi jempol. Hanya saja, Ki Jalaksana menyayangkan jalan sesat yang ditempuh Pranggala. Padalah kepandaian ynng begitu tinggi, sangat berguna untuk memerangi kejahatan. Tapi, ternyata justru jalan hitam yang ditempuhnya.
"Malam ini, dia sudah berhasil menewaskan Nyi Langir. Entah siapa lagi yang menjadi gilirannya. Hhh.... Mudah-mudahan aku bisa mencegahnya lebih cepat, sebelum bertambah korban lagi," gumam Ki Jalaksana lagi.
Beberapa saat laki-laki setengah baya ini masih berdiri diam mematung di situ. Kemudian kakinya bergerak terayun perlahan meninggalkan lereng Gunung Puting ini. Meskipun kelihatannya berjalan perlahan, tapi begitu ringan. Hingga dalam waktu sebentar saja, Ki Jalaksana sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan yang sudah porak poranda bagai baru diamuk puluhan gajah.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Tanpa diketahui, ternyata Pranggala tidak pergi jauh dari tempat itu. Dia berlindung di balik pohon yang cukup besar sambil memperhatikan, sampai Ki Jalaksana lenyap dari pandangan. Pemuda itu baru keluar dari balik pohon, setelah Ki Jalaksana benar-benar tidak kembali lagi. Sedikit ditariknya napas, dan menghembuskannya perlahan-lahan.
"Ki Tunggul Santak! Hm...," gumam Pranggala perlahan.***

KAMU SEDANG MEMBACA
108. Pendekar Rajawali Sakti : Harga Sebuah Kepala
AcciónSerial ke 108. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.