Chapter 1
Sebuah mobil mewah hitam berhenti di hadapan sebuah rumah besar. Suasana rumah tampak sepi, berbeda dengan sebulan lalu dimana rumah tampak ramai dengan orang-orang berpakaian serba hitam yang datang untuk melayat, menyampaikan rasa duka cita dan turut berbela sungkawa.
Sepasang suami istri itu turun dari mobil. Cuaca yang sedikit gerimis membuat pria berkemeja hitam yang merupakan supir itu membuka payung ke udara dan mengiringi tuan dan nyonya menuju masuk ke rumah besar milik keluarga William.
"Terima kasih, Taylee."
Wanita itu menatap rumah megah Dihadapannya dengan sedih. Pria tampan disisinya menggenggam erat jemari istrinya.
"Kamu kuat sayang." Ujarnya sambil mengedarkan pandangan pada rumah sang sahabat.Wanita itu mengangguk. "Kamu yakin dia akan ikut pulang dengan kita?"
"Sangat, kita akan merawatanya. Kita akan bertanggung jawab atasnya."
"Mereka bahkan tidak menjemput Sherly." Ujar wanita itu kembali.
"Mereka? Siapa maksudmu?"
Anna tak menjawab, Anna meneteskan air matanya sendu melirik satu persatu pigura berukuran besar yang berisi kebersamaan keluarga harmonis ini. Reza merangkul bahu istrinya dan membantunya kuat dalam melangkah menaiki lantai dua rumah menuju kamar putri semata wayang keluarga ini.
Ketika pintu kamar itu terbuka, hati Anna terenyuh melihat gadis cantik yang tengah berbaring lesu di ranjang. Gaun tidurnya terlihat kusut. Dari belakang ia terlihat menatap kosong lukisan yang bergantung di kamarnya. Lukisan keluarga William.
"Sherly." Anna mengelus puncak kepala gadis itu seraya duduk di sampingnya. "Bagaimana keadaanmu, sayang?" Bisik Anna dengan pelan.
Sherly tak menjawab, ia hanya diam seperti orang hilang semangat hidup. Anna lantas tersenyum tipis. "Ayo pulang ke rumah kami nak." Ajak Anna lembut. "Kamu butuh teman." Timpalnya.
Sherly dengan ekspresi datar menggelengkan kepalanya lagi dengan pelan. Tawaran itu pertama kali terlontar ketika upacara pemakaman anggota keluarganya selesai di laksanakan. Ia langsung mengatakan tidak kala itu. Ia masih ingin dirumah dan mengenang kehangatan seluruh keluarganya di rumah.
Anna melirik Reza yang balas menatapnya. "Iya nak, tapi kami tidak akan tenang meninggalkanmu sendirian di rumah yang sebesar ini. Tinggallah di rumah bersama kami. Kami bukan orang asing untukmu, kami sahabat almarhum papa dan mama-mu. Kita sudah bersama sejak kamu dan putra kami Ezaron kecil."
"Iya Sherly, kamu akan merasa senang di sana. Apalagi Erisa, dia pasti sangat bahagia. Kamu juga bisa bermain bersama si kecil, Evan." Kata Reza menimpali.
Ada banyak alasan kenapa gadis itu ingin menolak. Salah satunya, ia berpikir kalau keluarga tantenya akan datang mengambilnya. Ia pikir kakak papanya itu akan merawatnya seperti ucapannya sendiri dihadapan jenazah di rumah hari itu. Tapi ternyata tidak, kelihatannya ia hanya bersandiwara dihadapan tamu yang datang melayat agar terkesan peduli pada keponakannya.
"Sherly... Ayolah sayang." Bujuk Anna lagi.
"Tapi ada satu permintaan."
"Apa?" Tanya Anna dan Reza serentak. Mereka akan menyetujuinya dengan tak menimbangkan apapun lagi.
"Sherly ingin membawa lukisan ini dan kenang-kenangan lain tentang papa, mama dan Nathan." Sherly melirik lukisan besar di hadapannya.
"Kecil, hanya itu?" Tanya Reza memastikan. Melihat Sherly mengangguk pelan. Anna langsung membantu gadis cantik berambut panjang itu bangun dari duduknya. Mereka bersama melangkah keluar rumah, bersama para maid yang membantu mengangkat koper-koper menuju mobil. Membantu membawa lukisan dan koper tambahan berisi sejumlah barang milik Sherly.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prioritas
RomansKami adalah sahabat dari TK, karena satu kesalahpahaman. Hubungan persahabatan itu merenggang, bahkan ketika kami kembali bertemu setelah enam tahun ia sekolah khusus putra di Amerika dari junior-senior higt school. Kami bagai orang asing yang tak s...