Luka

277 18 1
                                    

1 November 2018, masih teringat dengan jelas olehku bagaimana hari itu berlalu.

Hari itu, aku sedang berada di sekolah. Seperti biasa, menjalani masa-masa akhir SMA yang terus berputar dengan cepat. Hingga tiba-tiba, aku mendapati sebuah panggilan tak terjawab, "Ayah" begitu nama yang muncul dilog panggilan ponselku.

"Halo Ayah, ada apa?"
"Lika, Mamamu kecelakaan. Sek-"
"Apa? Kecelakaan dimana? Sama siapa? Sekarang Mama dimana?"

Kakiku lemas sekali. Tangisku tak dapat terbendung lagi. Pikiranku kalut.

Siapapun, tolong bangunkan aku, jika ini hanya mimpiku.

"Ini semua karena ayah", hanya itu yang terbesit dipikiranku saat itu.

Satu jam kemudian, aku sampai di sebuah rumah sakit yang lumayan jauh dari rumahku. Saat aku diberitahu berita kecelakaan mama, aku diminta pulang dulu oleh ayah, mengambil beberapa keperluan untuk merawat mamaku di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, mamaku masih berada didalam ruang pemeriksaan. Hanya nenek dan ayah yang kutemui saat itu.

"Nenek! Bagaimana keadaan Nenek?"
"Nenek gapapa Lika, kaki Nenek cuma bengkak sedikit. Mamamu yang parah, Mamamu.."
"Mamaku kenapa, Nek?!"
"Kepala Mamamu membentur aspal, helmnya lepas. Telinganya mengeluarkan darah dan tadi juga ma-"
"Sudah cukup Nek!"

Aku tak mau mendengar apapun lagi. Mendengar penjelasan nenek tentang bagaimana keadaan mama hanya membuatku semakin takut. Cukuplah nanti aku yang melihat sendiri bagaimana keadaan mama. Tak lama setelah itu, mama dibawa keluar oleh beberapa tim medis. Mama akan dipindah lagi ke ruang UGD hingga mendapat kamar untuk dirawat inap.

Mama, hatiku pilu sekali melihatmu yang terbaring lemah saat itu.

Ditambah lagi, aku harus melihat perban putih yang penuh cairan merah menempel di kepalamu.

Mama, tolong bertahanlah.

Putrimu menyayangimu.

Sudah satu jam kami menunggu di UGD. Sudah tak terhitung berapa kali paman dan tanteku bolak balik ke pihak recepcionist supaya mama dipindahkan ke kamar rawat inap. Ayahku, sudah sejak saat aku datang tak juga aku menegurnya, bahkan menyalaminya. Aku muak. Aku muak dengan segala luka yang diderita mama.

Orang-orang bilang, kesabaran itu tak terbatas luasnya. Tapi kala itu, sabarku seperti terhitung sekali luasnya, seperti habis sudah.

"Mama, kenapa Mama belum sadar juga Ma? Malika disini menunggu Mama. Ma, buka matanya Ma, ayo bicara pada Malika."

Sudah entah berapa lama aku menunggu mama. Sekarang mama sudah dipindahkan ke kamar rawat inap, tapi mama belum sadar juga. Ada kejadian yang aneh saat itu. Saat itu, sedang ramai teman dan kerabat mama datang untuk menjenguk. Mama tiba-tiba bangun dari tempat tidurnya, lalu jongkok di lantai samping tempat tidurnya dan membuka celana. Kami sontak menutupi mama dengan sampiran. Mama buang air besar, di lantai. Aku kaget, belum pernah seumur hidupku mengalami atau bahkan melihat hal seperti itu.

"Ayah, bagaimana membersihkannya?"
"Ya kamu lah yang bersihin, ambil tissue, ambil pispot, kamu kan anaknya,"
"Iya, biasa aja. Aku kan cuma nanya."

Kesal sekali. Padahal aku hanya bertanya karena memang aku panik, belum pernah merawat orang sakit seperti ini. Selama hidupku, aku lah orang yang paling sering keluar masuk rumah sakit dibandingkan anggota keluargaku yang lain. Aku tahu aku memang putrinya, tapi bukankah dia juga suami nya? Lagipula, kutegaskan sekali lagi 'toh aku hanya bertanya' bukan tak mau membersihkannya. Sudahlah, aku tak mau lagi banyak bicara, langsung membersihkan kotoran mamaku.

Dikala musibah yang menimpa itu, aku masih bersyukur, banyak sekali orang-orang baik yang Tuhan hadirkan untuk menolong keluargaku. Terimakasih kepada orang-orang baik yang telah membantu mama dan nenekku saat kecelakaan itu, terimakasih kepada siapapun yang dengan susah payah membawa mama ke rumah sakit dengan angkutan umum, terimakasih kepada semua teman dan kerabat yang menjenguk mama dan mendoakan kesembuhan mama. Terimakasih Tuhan, masih menguatkanku dengan menghadirkan banyak pertolongan di kala itu.

Bagiku, bersyukur adalah cara paling mudah untuk menerima keadaan yang menimpa keluargaku saat itu.
Karena jika aku malah memberontak, bagaimana aku bisa bersikap tenang?
Jika aku tak bisa bersikap tenang, bagaimana aku yakin aku bisa merawat orang sakit?
Bukankah orang sakit itu butuh ketenangan orang yang merawatnya untuk lekas sembuh?

Saat itu, kesembuhan mama adalah prioritasku. Maka, aku harus terlebih dulu berdamai dengan diriku dan mengesampingkan egoku.

Sebuah Kisah BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang