Pulih

69 7 0
                                        

Beberapa hari setelahnya, mama diperbolehkan pulang oleh dokter.
Ah, senang sekali aku.
Lagi-lagi, terimakasih Tuhan, telah memberi kesembuhan pada mama.

Kami tak pulang ke rumah.
Kami pulang ke rumah nenek.
Kami akan tinggal di rumah nenek, untuk sementara, sampai kondisi mama benar-benar pulih.
Kalau di rumah, dikhawatirkan ada apa-apa dengan mama saat kami tak ada.

Ayah, ia akan kembali bekerja.
Mikaila, ia pun akan sekolah seperti biasa.
Sedangkan aku, aku pun harus kembali bersekolah seperti sebelumnya.
Oleh sebab itu, mama lebih baik di rumah nenek, supaya lebih terpantau aktivitasnya.

Hari-hari dirumah nenek, alhamdulillahnya berjalan lancar-lancar saja.
Setiap harinya aku akan pulang ke rumah di sore hari, untuk membersihkan rumah sekaligus mengambil beberapa pakaian untuk esok hari.
Sekolahku juga lancar-lancar saja.
Hanya, sering sekali kutemukan di GPS, ayah masih pergi ke lokasi yang ku curigai waktu itu.
Aku bingung, apa langkah yang harus aku ambil selanjutnya?

Kadang kala, kita memang harus berjalan sendiri, tidak ada yang menuntun lagi.
Gapapa, mungkin kita sudah dianggap dewasa, makanya dibiarkan begitu saja.

Hari itu aku sedang berada di kelas, sedang jamkos karena guru mata pelajaran saat itu tidak bisa mengisi jam pembelajaran, kami hanya diberi penugasan. Selain Taya, aku juga punya teman lain yang sama dekatnya denganku di kelas. Namanya Deandra, aku memanggilnya Dea. Dea sering bertukar cerita denganku, tentang keluh kesahnya, tentang bagaimana ia sering berseteru juga dengan ayahnya. Hari itu juga, kuceritakan semuanya pada Dea. Lagi-lagi, harus menceritakan hal yang ingin sekali kulupakan.

"Coba sekarang lo cek GPS nya deh Ka,", pinta Dea tiba-tiba.
"Tuhkan, ayah gue disitu lagi De,", jawabku yang mulai frustasi.
"Gimana kalo kita cari aja rumahnya? Kan kalo di GPS ayah lo lagi disitu, sekalian biar lo tau bener apa enggak itu GPS,"
"Cari rumahnya? Gimana caranya De?"
"Lika lika, oon bener. Ya kan lo udah tau alamatnya, ya kita tinggal cari lah,"
"Lo mau bantuin gue De?"
"Yaelah lo kayak sama siapa aja sih. Kuy lah dari pada kelamaan."
"Hah sekarang?"
"Iya anjir nanya lagi, ayok Malika!"
"Gimana cara keluarnya gila De??"
"Ya cabut lah, lewat gedung depan. Lo kayak gapernah cabut aja,"
"Hahaha iya sih. Tapi yakin lo?"
"Yakin. Lagian ini jam terakhir, gak ada guru juga, tugas udah selesai. Ayoklah, lama lo!"

Gedung depan sekolah kami saat itu sedang di renovasi. Tukang-tukang yang bekerja, kebanyakannya bisa diajak kompromi. Siswa-siswi di sekolahku juga, sudah tidak lumrah lagi kalau bolos lewat situ, termasuk aku hehe. Dea memang tiap pergi ke sekolah naik kendaraan sendiri. Makanya, dia bisa membantuku mencari alamat itu.

Sebelumnya, aku memang pernah satu kali bolos lewat gedung depan itu, ke rumah temanku yang dekat sekolah karena sedang jamkos. Biasanya, kami lewat jalan kecil dekat mushola untuk akses jalan ke gedung itu. Tapi hari itu, tak biasanya akses jalan itu ditutup. Sehingganya aku pun harus sampai melompati dinding yang membatasi kelasku dengan gedung itu, supaya bisa bolos lewat gedung depan itu. Omong-omong, untuk apa yang kulakukan ini, harap jangan ditiru ya, hehe.

Kami sudah memasuki gang yang ditunjukkan oleh aplikasi google maps sesuai dengan alamat yang ada di GPS. Entah sudah berapa kali kami bolak-balik di jalan yang sama, tapi tidak menemukan mobil ayahku sama sekali. Sempat kami berhenti di nomor rumah yang sesuai dengan alamat yang tertera di GPS itu, tetapi sepertinya kami salah. Tidak kutemukan tanda-tanda adanya mobil ayah, pun rumah itu besar sekali, seperti rumah keluarga yang ramai penghuninya.

"De, kita berhenti dulu aja kali ya? Tuh disitu,", ucapku sambil menunjuk salah satu warung soto yang tak jauh dari alamat rumah yang sepertinya salah itu.
"Yaudah, gue juga laper emang, kita makan dulu ya Ka?"
"Oke."

Sebuah Kisah BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang