Hari Ketiga

87 9 0
                                        

Sudah tiga hari mama dirawat di rumah sakit.
Alhamdulillahnya, kondisi mama pun sudah semakin membaik.

"Lika, kamu hari ini pulang ke rumah dulu ya, mandi sama tolong beres-beres rumah ya. Kasian Malika dari kemarin belum ganti pakaian,", ucap Mama pagi itu padaku.
"Iya Ma, baik."
"Kunci rumah sama Nenek, jadi nanti Lika ambil dirumah Nenek ya,", aku hanya mengangguk.

Mengetik sesuatu dilayar ponselku dan tak lama kemudian, seorang driver ojek online sudah menjemputku.

Aku memang terbiasa kesana kemari dengan ojol karena belum bisa mengendarai motor.
Dua puluh menit perjalanan, sampailah aku di sebuah rumah kecil bertembok keramik biru.

"Assalamualaikum, Nek,"
"Waalaikumsalam, eh Lika pulang?"
"Iya Nek, disuruh mandi dulu sama beres-beres rumah. Udah beberapa hari rumah gak disapu,"
"Oh mau ambil kunci ya kesini? Duduk dulu sebentar Lika, minum dulu,"
"Iya nek,", aku mengiyakan nenek, mengambil segelas air putih dan meneguknya. Haus sekali memang aku sedari tadi.

"Lika, Nenek mau tanya sesuatu"
"Tanya apa, Nek?"
"Sebenernya Mama lagi ada masalah apa? Waktu sebelum kecelakaan itu Nenek minta antar ke pasar, Mama banyak bengong,", kata Nenek.

Lagi lagi, aku harus mengingat ulang cerita yang sudah beberapa hari ini kuasingkan di dalam ingatan.

Terkadang, suatu hal yang menyakitkan, memang baiknya tak melulu diingat dan diceritakan, ya. Selain tak mengubah keadaan, juga hanya menambah luka diingatan.

Baiklah, aku mengalah. Kuceritakan kejadian sebelum mama kecelakaan, ketika mama mengirim pesan di whatsapp kepadaku.

"Astaghfirullahaladzim, kelewatan Ayah kamu. Kenapa kemarin-kemarin Lika diem aja? Kemarin kan Nenek dateng ke rumah sakit juga dan lagi gak ada Ayah, kenapa Lika gak cerita?"
"Lika cuma gak mau ngebahas masalah itu di depan Mama, Nek. Lika mau Mama sembuh dulu, gak mau Mama malah jadinya kepikiran."

Hening.
Aku diam. Nenek, kakek dan tanteku yang sedang main ke rumah nenek pun diam.

Beberapa saat kemudian, nenek mengambil ponselnya, menelfon seseorang diponselnya yang ternyata adalah pamanku, adiknya mama, yang sedari kecil ku panggil Bang Ian.

"Lika, Nenek mau Lika selidiki ayah."

Aku?
Menyelidiki orang tuaku sendiri?
Bagaimana caranya?
Dan.. kenapa harus aku?
Karena aku anaknya?
Bagaimana jika fakta yang kudapat tak sesuai dengan ekspektasiku?
Bagimana jika aku ketahuan?
Dan.. bagaimana jika langkahku sendirilah yang malah mendatangkan kehancuran?

"Lika!! Kenapa diem aja?"
"Ma-maaf Nek, tapi gimana caranya Nek? Lika gak berani kalau harus ngambil ponsel Ayah dan nyari informasi,"
"Begini, Abang Ian kan bisa pasang GPS mobil. Besok, Abang Ian ke rumah sakit jenguk Mama. Nah Lika kan pasti pulang ke rumah kan mandi, Lika pulangnya minta anter Abang Ian aja, pinjem mobil ayah. Waktu Lika mandi, Abang Ian pasang GPS nya,"
"Tapi nek, gimana kalau ketahuan Ayah? Lika takut nek,"
"Kamu ini gimana sih Lika!! Ini demi Mamamu. Kamu gak sayang sama Mamamu? Nurut aja apa kata Nenek. Ayahmu gak akan tahu kalo kamu gak ngasih tahu."

Nenek, rasa sayangku pada mama tak perlu seorang pun tau.
Aku menyayangi mama, melebihi aku menyayangi diriku sendiri.
Tak perlu kautanyakan seberapa besar sayangku pada mama.

Saat itu, kepalaku pusing sekali, tubuhku lemas.
Aku seperti robot.
Harus melakukan sesuatu yang bukan mauku.
Tapi aku tak punya pilihan lain. 

Aku, bagai terjebak di lorong yang gelap. Lorong yang aku sendiri tak tahu dimana jalan keluarnya.

"Baik Nek, Lika akan turuti mau Nenek."

Hanya itu yang terlontar dari bibirku.
Memang itu kan, yang mereka mau?

Kalau aku bisa egois, aku ingin lari dan tak peduli dengan semua ini.
Aku ingin menikmati sisa-sisa waktu akhir sekolahku dengan tenang, layaknya anak SMA pada umumnya.
Aku ingin menggapai mimpi yang selama ini sedikit demi sedikit kucoba raih.

Aku,
sangat ingin pergi. 
Sejauh yang kumau,
sampai tak lagi dapat terdeteksi.

Andai aku tak punya adik, andai tak ada Mikaila di bumi saat itu, mungkin aku akan dengan berani memilih pergi. Entah pergi ke lain sisi, atau pergi ke lain dimensi.

Mikaila, terimakasih telah lahir sebagai adikku di bumi.
Aku akan tetap kuat berdiri dan akan kulalui semua ini, walau aku sendiri tak tahu pasti akan berakhir bagaimana semua ini.

Hari itu, kupikir semesta akan membaik padaku.
Ternyata, aku masih harus menunggu.
Baiklah.
Semoga saja, hari esok lebih berpihak padaku.

Sebuah Kisah BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang