Malika akhirnya menyerah, kalah dengan keadaan.
Hari itu, Kakek dan Nenek bertengkar cukup hebat. Hal biasa sebenarnya, tapi tetap saja tak bisa diterima.
Kata orang, kita hanya punya dua tangan, tidak bisa menutup semua mulut mereka yang bicara.
Tapi kita punya dua telinga, dua tangan tadi bisa menutup dua telinga kita, untuk tak mendengar jahatnya kata-kata dari suara.Lain dengan hal itu, suara pertengakaran itu tetap terdengar seberapa keras pun aku menutup telinga. Aku menangis, menelpon Mama, dan bilang ingin pulang saja bersama Mikaila.
Kami pulang.
Pulang dengan segala ketidakinginan atas temu.
Pulang dengan harap hilang saja sebelum sampai, kalau bisa.Kami dijemput Ayah. Ia membawa semua barang barang kami pindah ke rumah. Nenek sempat menahanku, "Lika, kok pulang? Pasti gara gara Nenek sama Kakek ribut, ya?"
"Enggak Nek, mungkin sudah saatnya Lika dan Mika pulang."
**
Malam harinya, kami duduk di ruang TV. Mama sudah mengisyaratkan aku untuk membuka percakapan yang sebelumnya telah kami sepakati.
"Ayah, maafin Lika ya yah, kemarin sempat diam sama Ayah. Maafin Lika, Yah.", ucapku yang terduduk lemas bersimpuh di hadapannya.
Mikaila, ia pintar sekali ikut bersimpuh dan meminta maaf, "Maafin adek juga, Yah."
Kami menangis dalam tunduk.
"Iya, Ayah juga ya minta maaf sama Lika dan Mika."
Jika aku ingin mengikuti ego, mungkin tak akan aku meminta maaf pada Ayah lebih dulu.
Akan kubiarkan saja orang tua itu yang lebih dulu meminta maaf padaku.Tapi, tak penting sebenarnya siapa yang memulai kata maaf.
Justru mereka yang berani meminta maaf lah, mereka yang dengan berani pula memeluk lukanya.Hari hari berikutnya, kembali berjalan seperti sediakala.
Meski terasa sekali, seperti semuanya sudah tak sama lagi.Hingga suatu ketika, awan gelap datang lagi. Atau memang sebenarnya, mereka tak pernah pergi dan hanya sembunyi?
Sudah sehari Ayah tidak pulang ke rumah, memilih menginap di rumah istri keduanya. Padahal perjanjiannya, Mamaku tidak mengizinkan Ayah menginap. Hanya boleh main saja, kata Mama.
Mereka bertengkar di whatsapp, panjang sekali yang mana tidak bisa kutulis disini bagaimana jelasnya.
Pada hari kedua mereka bertengkar, Mama akhirnya menyerah.
"Lika, kalau Mama cerai kamu dan Mika setuju nggak?"
Awan gelap itu, mungkin memang selamanya tetap gelap.
Bagaimana seorang anak bisa setuju dengan perceraian kedua orang tuanya, jika memang bukan karena harus?
"Kalau Lika, nggak apa, Ma. Mungkin memang baiknya Mama cerai dari pada begini terus. Ayah juga nggak memilih kita..", ucapku yang entah pasrah atau menyerah.
Mikaila yang sejak tadi hanya menyimak kini menangis. Adik kecilku itu, masih terlalu dini untuk menghadapi semua ini.
Mama mengirimkan pesan pada Ayah lewat whatsapp.
"SAYA MAU KITA CERAI DAN KAMU URUSIN PERCERAIAN."
"URUS AJA SENDIRI KALO MEMANG ITU MAU KAMU!!! SAYA MASIH KERJA."
"OKE!! SAYA BISA URUS SENDIRI. KAMU JANGAN LAGI PULANG KE RUMAH, KAMU PERGI AJA DENGAN BADAN DAN APA YANG KAMU BAWA."
"TERSERAHH!!!"
*read*
Pada Kertas di Catatan Malika,
Cepat sekali waktu bekerja, ya
Memisahkan dua yang pernah bersama.
Mendatangkan sedih dan lara, padahal kemarin baru berbahagia.
Waktu, selalu tak bisa di tebak apa maunya.
Dan detik adalah egois, karena tak membiarkan siapa pun bernegosiasi pada kenyataan.
Atau sebenarnya, manusia manusia lah yang egois?
Yang selalu meminta seperti inginnya, padahal diri sendiri tak tahu baik atau tidak pinta itu baginya.Kali ini bersama awan gelap,
Tetap Malika.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kisah Baru
AléatoireBanyak dari kita yang tidak bisa terima atas apa yang telah di takdirkan-Nya. Banyak juga yang malah memberontak atas apa yang telah menimpa. Beberapa lainnya berusaha melupa atas luka miliknya. Padahal, bukan lupa yang jadi solusinya, tapi menerima...