Sudah selesai. Iya, sudah selesai cerita sebuah keluarga yang pernah bahagia.
Untuk pertama dan kuharap terakhir kalinya, aku menginjakkan kaki di Kantor Pengadilan Agama.
"Selamat Pagi, ada yang bisa saya bantu?", sapa seorang petugas yang sudah menunggu di meja pendaftaran.
Aku masuk, mengikuti Mama. Kami langsung duduk pada dua buah kursi kantor yang sudah disiapkan di sana.
"Begini, Mbak. Saya ingin mengajukan gugatan cerai pada suami saya.", tukas Mama pada entah apa sebutannya seorang yang bekerja mengurus dokumen pendaftaran dalam kasus perceraian.
Pengalaman baruku, membantu Mama mengurus perceraiannya dengan Ayah.
"Boleh diceritakan Bu, kenapa Ibu mau menggugat suami?"
Begitu kira-kira, pertanyaan yang dilontarkan oleh orang itu. Apa ya, aku menyebutnya? Mbak saja deh, ya. Soalnya kalau dari wajah dan penampilannya, sepertinya ia baru akan menginjak usia 30 tahun.
Mama akhirnya dengan terpaksa menceritakan alasan mengapa ia memilih untuk berpisah dengan Ayah. Sementara Mbak itu menyimak cerita Mama sambil mencatat rangkaian ceritanya. Dan aku yang duduk di samping Mama, hanya mengangguk ketika ditanyai apakah benar kejadiannya seperti cerita Mama.
"Kamu kuat sekali, Dik.", ucap Mbak itu tiba-tiba tertuju padaku.
Aku hanya tersenyum kikuk. Entahlah, kupikir sebenarnya aku ini tak kuat, hanya harus terlihat seperti itu saja.
"Mbak juga sama seperti kamu kok, kamu nggak sendiri."
Aku yang sedang menunduk seketika menengadah menatap ke arahnya bingung, "Maksudnya?"
"Iya, dulu Ayahku juga selingkuh dari Ibu. Pergi dari rumah, nggak membiayai kami bahkan Ibuku harus banting tulang hanya untuk makan kami sehari-hari."
Aku tertegun. Ada ya, orang sekuat dia itu? Mengalami trauma tapi tidak membalasnya. Lihatlah, dia duduk dengan tenang di depanku. Mendengar cerita perceraian banyak orang setiap harinya padahal aku yakin, dia pasti pernah merasakan sakit atau mungkin trauma sepertiku akibat perceraian orang tua.
"Setelah beberapa tahun, Ayahku pulang ke rumah. Meminta maaf karena sakit dan Ibu, masih mau menerima Ayah. Justru Ibuku juga yang mengurus Ayah hingga akhir hidupnya.", lanjutnya bercerita padaku.
Pantas saja perempuan di depanku ini, kuat sekali. Ia terlahir dari rahim seorang perempuan hebat yang sama hebatnya seperti Mamaku. Maka, Malika juga harus kuat.
Kalau masih ada manusia di muka bumi yang meski dunia tak pernah berpihak dan selalu menyakitinya, tetapi ia selalu membalas segalanya dengan memberi kebaikan pada seisi dunia, maka aku harus jadi satu di antara mereka yang masih ada.
Orang-orang seperti itu, menurutku hebat sekali. Hatinya diciptakan dengan Tuhan sangat spesial, sehingga tak mudah membenci hanya karena sebuah ketidakinginan atas takdir.
---------------------------------
Aku sampai pada hari terakhir sidang perceraian. Sudah selesai aku membantu Mama mengurus perceraian. Sudah sampai pada sidang kedua. Karena sejak yang pertama ayah tak datang, jadi sidang selesai hanya dengan dua kali sidang.
Kami pulang. Mama, aku, dan adik perempuan mama. Aku hanya ingin menangis hari itu. Sepanjang jalan, bahkan biarlah meski air mata ini akan habis. "Malika, kok nangis? Malika sedih ya, Mama sama Ayah cerai?"
Aku tak bisa menjawab, lidahku kelu. Hanya diam yang jadi jawabanku untuk Mama saat itu.
Bohong, kalau ada orang bilang, perpisahan itu tidak menyedihkan.
Dan sejak hari ini, aku paham sekali.
Tak mudah menerima sebuah perceraian.
Tak mudah mendapati bahwa hari ini dan hari-hari berikutnya, aku akan berpisah jauh dengan salah satu dari orang tuaku.
Yang meskipun kutahu, kami tetap berada dalam satu alam yang sama.
Tak ada yang mudah dari sebuah perpisahan.Satu minggu setelahnya, kami memutuskan untuk pergi. Mama, aku, dan Mikaila. Entah lah, lebih pantas disebut pergi atau lari kami ini. Lari dari kenyataan yang memang tak bisa selalu sesuai keinginan kita saja.
Malam itu kami pergi. Taksi online yang kami pesan pukul tujuh malam itu melaju ke Stasiun. Sudah beberapa hari sebelumnya aku dan Mama membeli tiket kereta. Kereta dengan rute Tanjung Karang-Kertapati.
Dari kecil aku selalu ingin naik kereta, karena memang belum pernah sekalipun aku naik kereta. Tapi perjalanan pertamaku naik kereta, malah dipenuhi duka.
Aku sedang duduk di pinggir trotoar di halaman Stasiun. Mama sedang membeli minuman dan cemilan di Mini Market terdekat. Seketika saja, pikiranku tertuju pada Ayah.
Ayah sedang apa, ya?
Sudah makan belum, ya?
Apakah Ayah sehat disana?
Andai saja Ayah di sini bersama kami.Bagi manusia sepertiku, berandai-andai kadang jadi hal yang menyenangkan meski hanya sesaat. Setidaknya ada sedikit kebahagiaan meski hanya dalam hayalan.
Kami sudah berada di dalam gerbong kereta. Gerbong paling belakang tepatnya. Perjalanan pertama kami yang tanpa sesosok pelindung. Kereta mulai melaju bertargetkan sembilan jam perjalanan untuk sampai pada tujuan.
Perjalanan panjang dengan pikiran yang bercabang.
Stasiun Kertapati menyambut kami dengan hangatnya mentari. Suasana baru, pengalaman baru.
"Malika, ini kita habis ini kemana?", tanya Mama saat kami baru turun dari kereta.
"Ada hotel di 15 ilir, Mah. Nggak terlalu jauh dari Ampera. Malika juga sudah cari beberapa supaya kalau di hotel pertama yang kita tuju nggak cocok, bisa ke hotel lainnya."
Malika, kadang kala memang bisa multijob. Jadi anak iya, jadi tour guide dadakan juga bisa. Dalam keadaan mendesak, kadang kita memang harus bisa menyesuaikan diri seperti bunglon kayaknya, ya?
Kami memilih taksi online untuk menempuh perjalanan ke hotel tempat kami menginap.
"Ibu dan adik, darimana asalnya?"
"Kami dari Lampung, Mas."
"Oh, Lampung ya. Wah Lampung kan banyak tempat wisatanya, kok malah milih ke sini?"
"Memang di sini enggak ada tempat wisata, Mas?"
"Ya, ada sih. Cuma nggak sebanyak Lampung kalau soal wisata alamnya. Di sini mah, kebanyakan Mall."
"Hehehe nggak apa apa, Mas. Pingin aja liat Ampera."
"Ampera memang biasanya jadi salah satu tujuan wisatawan datang kemari sih."
"Nanti kita lewat sana nggak, Mas?", tanyaku memotong percakapan Mama dan supir taksi online.
"Nah kebetulan banget, kita lewat sana nanti."
"Asiikk kita lewat Ampera, Teh!", seru Mikaila yang semangat sekali.
Sejak kecil, Mikaila memanggilku dengan sebutan Teteh yang artinya kakak. Ayahku itu orang sunda asli, jadi suku kami mengikuti suku Ayah. Kalian pasti baru tahu kan mengenai faktaku yang satu itu? Hehe, maaf ya. Maaf ya, jika selama ini yang kuceritakan hanya berfokus pada kesedihan.
"Ibu dan adik, kok hanya bertigaan? Ayahnya nggak ikut?"
Hening. Lagi dan lagi, pertanyaan yang sama yang dilontarkan seorang pria yang duduk di depanku waktu di kereta.
Tak bisakah orang-orang tak terlalu mau tahu akan sesuatu meski niatnya hanya mencari topik perbincangan?
Tak bisakah orang-orang ini tak membahas hal yang sensitif sekali bagiku?
Jelas tak bisa, Malika.
Mana mereka tahu dan tentu juga mereka tak akan mau tahu dengan masalahmu."Iya, Mas. Ayahnya lagi sibuk kerja jadi nggak ikut.", jawab Mama yang tentu saja berbohong. Aku tahu betul, Mama berbohong pasti supaya tak perlu bercerita panjang lebar.
Pada Ampera di Kota Pelarian,
Terimakasih, pernah menerima kami yang tengah berlari.
Terimakasih, telah memberi waktu sejenak menikmati indahmu.
Maaf, telah menjadikanmu tempat keluh.
Maaf, telah merusak indahmu dengan sedihku.
Semoga lain kali, kita bertemu kembali.
Semoga lain kali, pijakku tak lagi dibersamai pilu.
Semoga saja.Tertanda,
Malika di Ampera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kisah Baru
RandomBanyak dari kita yang tidak bisa terima atas apa yang telah di takdirkan-Nya. Banyak juga yang malah memberontak atas apa yang telah menimpa. Beberapa lainnya berusaha melupa atas luka miliknya. Padahal, bukan lupa yang jadi solusinya, tapi menerima...