Kejutan

78 8 0
                                    

Setelah hari itu, aku menjalani hari-hari berikutnya seperti biasa. Pura-pura tidak tahu apa-apa di depan ayah. Tetap pergi ke sekolah seperti biasanya dan mensyukuri apa yang masih berjalan hingga saat ini. Kondisi mama pun berangsur membaik. Hanya kondisi kejiwaanku saja mungkin, yang semakin memburuk. Haha, siapa juga yang mau tahu, kan?

Sepanjang hari, aku selalu menerka-nerka, akan bagaimana jadinya hari esok, ya?
Aku selalu tak berani, jika apa yang aku dapati nanti tak sesuai dengan apa yang aku ingini.
Apakah aku bisa tetap bertahan begini?

Aku, seperti akan berangsur mati dengan pikiran-pikiran yang kuciptakan sendiri.
Meski sudah kukatakan pada diri sendiri, hanya Tuhan yang tahu bagaimana hari esok akan terjadi.

Mungkin, saat inilah Tuhan mengajarkanku untuk menjadi manusia yang lebih bernyali.
Selama ini, aku terlalu penakut dan selalu tak berani.
Mungkin sudah saatnya, aku lebih berani dengan apa yang memang harus dihadapi.

Mikaila, pada akhirnya kuberi tahu tentang semua ini. Awalnya, aku berencana tak memberi tahunya, sampai semua rahasia itu muncul ke permukaan dengan sendirinya. Tapi, aku memang tak bisa menahannya sendiri. Aku perlu bercerita, perlu berkompromi. Meski tak ada saran apapun dari Mikaila tentang langkah apa yang harus aku ambil kedepannya. Setidaknya setelah itu Mikaila menjadi anak yang lebih prihatin dengan kondisi yang sedang kami alami.

Tibalah hari Sabtu. Ayah tiba-tiba meminta izin kepada mama untuk pergi ke acara pernikahan anak dari temannya. Ayah bilang, ia akan pulang malam karena rumah temannya itu lumayan jauh dari rumah kami. Mama mengizinkan ayah. Ayah juga berpamitan pada kakek dan nenek karena kami memang masih tinggal di rumah mereka hingga hari itu. 

Hari itu, tak hanya ayah yang izin. Aku pun sama, izin berpamitan untuk menghadiri acara salah satu teman SDku, Tika. Tika adalah salah satu teman dekatku sedari SD. Kebetulan sekali, hari itu hari perayaan ulang tahunnya. Tika sudah mengirimiku undangan supaya aku hadir sejak aku masih menjaga mama di rumah sakit. Tika juga mengundang teman dekat kami yang lainnya. Ada Dina, Danti, Rani, dan Suci.

Ayah pergi lebih dulu dari pada aku. Ia pergi dari sekitar jam 3 sore, sedangkan aku pergi sebelum jam 7 malam. Setelah berpamitan, aku langsung menuju rumah Dina, yang kebetulan dekat sekali dengan rumah nenek. Untunglah, rumah Dina yang dijadikan titik kumpul untuk berangkat sama-sama ke acara Tika.

Kupikir, hari itu akan menjadi jeda waktu bagiku, untuk sejenak melupa dari semua masalahku.
Tapi lagi lagi, perkiraan manusia memang kadang keliru.

Setelah 15 menit perjalanan dengan taksi online yang dipesan Danti, kami berlima pun akhirnya sampai di sebuah cafe yang cukup terkenal di tengah-tengah kota. Sudah cukup ramai teman-teman nya Tika yang lain ternyata. Beberapa di antaranya juga ada yang kukenal, meskipun tidak pernah satu sekolah denganku.

"Selamat ulangtahun, Tika!", seruku dan yang lainnya ketika bersalaman dengan Tika.
"Ah, makasih banyak guys!", jawabnya terlihat bahagia.
"Tika cantik banget si asli!", kata Danti memuji.
"Ih jangan gitusi Ti, lo mah gak pede gua hahaha. Yaudah langsung duduk aja ya kalian,", kata Tika mempersilakan kami.

Kami berlima langsung duduk di kursi yang berdekatan, menunggu hingga acara dimulai. Hingga MC pun mengambil alih dan membuka acara. Acara itu seperti acara ulang tahun remaja pada umumnya. Ada sesi pembawaan lilin-lilin harapan oleh teman-temannya Tika, ada foto bersama, hingga sesi yang ditunggu banyak orang; makan-makan

Awalnya aku sangat menikmati acara itu, hingga tiba-tiba... notifikasi panggilan tak terjawab "Nenek".

"Halo Nek, kenapa Nek?"
"Lika coba cek GP.. Ayah lagi di-  tutt..tut."

Sebuah Kisah BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang