Chapter 1 ~ Birendra Sadhana

7.6K 501 119
                                    

Bahagiaku sederhana, cukup dengan menikmati tawa di tengah keluargaku.
Bahagiaku sederhana, cukup dengan memberi apa yang mereka inginkan.
Lantas, jika aku tak mampu memberi yang mereka mau, akankah bahagiaku berakhir?
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Di dalam sebuah keluarga, yang mereka harapkan tentunya adalah bahagia. Deskripsi bahagia yang kebanyakan orang fikir adalah uang. Padahal, bahagia itu sederhana, bisa berkumpul dan menikmati makan malam bersama adalah wujud dari bahagia.

"Ganesh, suruh adikmu turun!" ujar Ajeng. Diajeng Sekar Ayu nama panjangnya, perempuan berdarah Jawa yang disunting oleh Yudistira Wardhana 31 tahun silam.

"Ganesh! Mama bilang panggil adikmu!"

"Biii, turuunn!" teriak Ganesh dengan pandangan yang masih tertuju gawainya.

"Ya Allah, datangi, dekati, baru bilang! Bukannya teriak begitu, anak ganteng!" Ajeng terlanjur gemas dengan putra sulungnya.

Wanita setengah abad itu hanya mampu menghela napas. Putra sulung yang sudah sepantasnya memberikan cucu ternyata masih keranjingan dengan game online. Itu terlihat dari gaya sang putra yang memegang gawai dengan dua tangan. Ingin sekali rasanya melemparkan sendok sayur yang sedang dia genggam saat ini.

"Tanggung, Ma. Cacingnya sudah gendut banget ini! Meleng sedikit bisa ditubruk sama yang kecil-kecil, sayang. Bentar lagi Bi pasti turun sendiri kalo sudah dengar suara mobil ayah parkir." Ganesh masih fokus pada cacing-cacing yang menggeliat di layar ponsel pintarnya itu.

"Ganesh Ekawira!" panggil Ajeng sekali lagi. Panggilan nama panjang itu adalah alarm bagi kedua putranya. Pertanda jika tak segera mengikuti perintah maka bersiaplah pada hal yang lebih buruk.

Ganesh menoleh menanggapi panggilan dari mamanya. Dan ketika mengembalikan pandangan pada ponsel pintarnya cacing yang dipelihara ternyata tak sengaja menabrak badan cacing kecil yang muncul secara tiba-tiba. Game over, itu yang tertera di layar ponselnya.

"Arrghhh! Mamaa, cacingnya jadi mati 'kan?" perasaannya campur aduk, antara kesal juga gemas dengan kemunculan cacing kecil itu, dan dengan sang mama yang tak sabaran.

Ganesh beranjak dan menaiki tangga untuk memanggil adiknya. Dia membuka kasar pintu yang tak bersalah itu hingga menimbulkan bunyi debam keras yang mengagetkan sang pemilik kamar.

"Mas Ganesh! Bisa ketuk pintu dulu 'kan? Itu pintu enggak ada salah malah dibanting!" sungut Birendra Sadhana, putra bungsu dari keluarga Wardhana.

"Siapa suruh tadi dipanggil bukannya turun malah tetap ndekem ae di kamar," balas Ganesh.

"Siapa yang panggil? Kapan? Enggak ada yang panggil Bi dari tadi."

"Eh, bocah! Tadi Mas Ganesh teriak, kamu anggap apa? Tarzan?"

"Mas Ganesh manggil? Bi enggak dengar, Bi baru saja lepas headset-nya," ujar Bi sembari mengangkat gumpalan kabel di tangan kanannya.

Ingin sekali Ganesh memaki kemudian membungkus dan melempar adik bungsunya itu ke kolam ubur-ubur, tetapi terusik oleh suara mobil yang memasuki pekarangan rumah dan terparkir. Keduanya saling menatap.

"Ayah!" seru keduanya kompak.

Ganesh segera keluar kamar dengan gerakan cepat. Sementara Bi yang berusaha bangun malah tersangkut dengan selimut di ujung ranjang yang mengakibatkan dirinya terjerembab, menimbulkan bunyi gedebuk di lantai.

Birendra segera bangun dan menyusul ke ruang makan. Ganesh menyambutnya dengan tawa ketika Bi menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi meja makan sembari memijit sikunya yang terbentur lantai.

Déanach ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang