Ketika yang berawal harus berakhir.
Ketika yang bertemu harus berpisah.
Ketika yang sudah datang harus pergi.
Semua itu sudah ada masanya.Ketika bahagia nyatanya berbalut kesedihan.
Ketika tawa menyamarkan tangis yang tertahan.
Ketika marah berbuah rasa kecewa.
Percayalah, cepat atau lambat semua akan terlewati.
Tetaplah yakin pada denting waktu yang diutus untuk menjawabnya.(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, mata itu masih saja terbuka. Tidak ada rasa kantuk maupun lelah yang terlihat dari iris mata berwarna coklat itu. Kejadian di ruang keluarga masih saja berputar-putar di dalam pikirannya.
Selama ini tak pernah sekalipun Birendra mendengar intonasi suara yang tinggi dari sang ayah. Bisa jadi ini adalah yang pertama, dan itu karena dia. Rasa bersalah bergelayut semakin berat di hatinya.
Lelaki yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana itu beranjak dari tempat tidurnya, menarik kursi dan duduk di depan meja belajarnya. Mengambil sebuah buku dengan sampul hitam dan memungut sebuah pulpen yang tergeletak di lantai kamarnya dan mulai menulis.
Birendra kembali melirik ke arah jam dinding, jarum jam menunjuk angka dua. Setelah mengembalikan buku dan pulpen ke tempat semula, Bi memilih untuk beristirahat sejenak sebelum mamanya membangunkan saat azan Subuh berkumandang.
Dua jam lebih Birendra terlelap dalam tidurnya, hingga sayup-sayup suara azan terdengar bersahutan dari musola dan masjid di sekitar tempat tinggalnya. Lelaki itu sudah membuka matanya, tetapi dia masih menanti ketukan lembut dari sang mama untuk membangunkannya.
"Bi, sudah Subuh! Ayo sholat dulu, Nak," ujar Ajeng setelah mengetuk pelan pintu kamar putra bungsunya.
"Iya, Ma! Bi sudah bangun," jawab Birendra segera.
🍁🍁🍁
Birendra menuruni tangga dengan perlahan sembari menguap lebar. Menenteng helm di tangan dan jaket yang sudah tersampir di bahu kirinya. Samar dia mendengar suara ayahnya yang berbincang di meja makan bersama mama dan kakaknya.
"Selamat pagi, semua!" seru Bi dengan senyumnya yang khas.
"Pagi, sayang!" balas sang mama.
"Hm." Hanya gumaman yang terdengar dari Ganesh yang sibuk mengunyah nasi goreng dan tempe bacem.
Sementara sang kepala keluarga terdiam tak menanggapi. Suara denting sendok yang beradu keras dengan piring menarik perhatian yang lainnya. Dengan gerakan cepat Yudis menyambar cangkir kopi di hadapannya itu. Menyeruput sedikit lalu meletakkannya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Déanach ✔ [TERBIT]
Genel Kurgu📖 DIBUKUKAN [PART TIDAK LENGKAP] Amazing cover by @Hwarien Bagi Birendra Sadhana, profesi itu tentang sebuah pilihan hidup. Bukan tentang harta, bukan pula tentang tahta yang akan dihasilkan. Namun, bagaimana jika pekerjaan yang dia pilih ditentang...