Chapter 13 ~ Mas Ganesh

2.9K 370 118
                                    

Tunjukkan kekhawatirmu pada dia ketika masih ada.
Ketika dia masih berada dalam jangkauanmu.
Jangan tunggu nanti hingga kekhawatiranmu itu sia-sia.
Dan berujung pada penyesalan belaka.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Ganesh hanya memandangi ponselnya. Ada gelenyar aneh di hatinya saat tahu sambungan telepon itu terputus secara tiba-tiba. Saat sakit, sang adik memang kerap kali memberitahunya. Itu adalah kebiasaannya sejak lama.

Sejenak dia berpikir lalu melakukan panggilan telepon dengan segera.

"Asalamualaikum. Dit, Bi sakit?"

"Wa alaikum salam, lo kakaknya, lo yang tinggal serumah sama dia. Kenapa tanya gue?" Radit menjawab dengan nada sedikit ketus.

"Dia minta jemput, tapi gue sibuk. Kenapa nggak lo anterin balik kalo emang sakit?"

"Kapan dia bilang minta jemput?"

"Barusan! Tapi sambungan teleponnya keputus."

"Lo lanjutin aja sibuk sama kerjaan. Nggak usah mikirin Bi, gue yang ...." Ucapan Radit terhenti. 

"Pak Radit! Pak Birendra pingsan, sekarang sudah ada di UKS." Ganesh  mendengar dengan sangat jelas suara lain dari seberang.

"Nesh, gue tutup dulu. Bi pingsan." Radit langsung menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban balasan dari Ganesh.

Mendapati panggilannya diputus secara sepihak bahkan sebelum dia menjawab membuat Ganesh hanya menghela napas. Belum lagi suara dari seberang yang mengatakan bahwa Birendra pingsan.

🍁🍁🍁

Mata sayu itu menatap nanar langi-langit ruang UKS. Birendra kembali menempati kamar bernuansa putih dengan nakas di samping kanannya, dan tirai yang membatasi ranjangnya dengan ranjang di sebelahnya.

Seingatnya, tadi dia masih berada di lorong penghubung kelas XI dengan kelas XII Otomotif. Birendra masih ingat jika dia sedang menelepon sang kakak supaya datang menjemput.

Namun, belum sampai telepon itu berakhir telinganya sudah berdengung, fokus pendengarannya pecah. Barang-barang yang dibawanya berjatuhan. Pandangannya memburam, banyak bercak keunguan yang timbul menghalangi pandangan.

Birendra tak sepenuhnya hilang kesadaran. Dia mendengar derap langkah yang mendekat. Dia juga masih merasakan dua orang yang mendekat, menepuk bahunya kemudian memapahnya ke UKS.

Sayup dia mendengar suara Radit yang sedang bertanya kepad petugas jaga tentang keberadaannya. Birendra segera mendudukkan tubuhnya dan memasang senyum lebar. Itu salah satu upaya kamuflase bahwa dirinya baik-baik saja.

"Bi!" Suara panggilan itu hadir bersamaan dengan tirai yang digeser.

Radit yang melihat adiknya sudah dalam posisi duduk dengan senyum lebarnya itu, menghela napas. Selain karena lega, dia juga menetralisir napasnya yang masih memburu.

"Bang, satu helaan napas, satu nikmat tercabut! Lupa?"

"Abang nggak akan menghela napas kalo saja adik kesayangannya nggak bikin sport jantung."

"Maaf sudah bikin khawatir. Bi mau pulang saja, boleh?"

"Boleh, masih pusing nggak? Kalo masih istirahat saja dulu. Kenapa bisa pingsan?"

"Siapa bilang pingsan? Nggak pingsan, Cuma blackout aja!"

"Apa bedanya, pinter?"

"Kalo pingsan itu nggak sadar sepenuhnya dan bisa dalam waktu yang lebih panjang. Kalau blackout pandangannya aja yang gelap, tapi masih bisa dengar suara di sekitar. Bi nggak di gotong untuk sampai ke UKS, tapi dipapah. Bi setengah sadar."

Déanach ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang