Chapter 2

668 7 6
                                    

"Gila! Ini sih susah banget!" gumam Ghinta pada dirinya sendiri setaya menggaruk kepala. Pasalnya pelajaran sejarah itu, ia memang belum lahir ke dunia. 

"Lha, emang susah, Ge," sahut Ratna berbisik.

"Gue belum lahir tahu nggak, ini tahun 1940-an. Sedangkan ane lahir tahun 90-an. Gila nggak sih, kita dipaksa tahu tentang kisah mereka? Lahir aja belum, 'kan?" oceh Ghinta merasa panik.

"Namanya juga belajar sejarah, Ge."

"Sejarah gue cuma ketika gue jadi anak-anak. Itu namanya sejarah. Bukan peperangan kek gini, masa kecil gue nggak pernah perang kayak gini." Ghinta tetap kukuh pada pemikirannya.

"Lo itu bodoh, apa idiot, sih?" tanya Ratna heran.

"Kalau lo sendiri, gimana?" Ghinta malah berbalik tanya.

Ratna memutar bola matanya seraya menggelengkan kepalanya, lalu ia bergumam, 'Benar-benar idiot ini anak'.

"Nah, itu lo. Bukan gue. Sekarang tahu, 'kan, jawabannya?"

"Semerdeka lo aja, Ge!" Ratna menyerah dengan Ghinta. Ghinta memang tak mau kalah dalam hal perdebatan. Mungkin kekalahan ini, akan membuat dirinya bangga dan merasa senang dalam seketika.

Jam istirahat pun sudah tiba, biasanya Ghinta pergi ke kantin bersama dengan teman-teman lain di kelasnya. Ia berjalan dengan Milen dan juga Ratna. Saat dalam perjalanan ke kantin, ada sesuatu yang temannya ingin tahu tentang fakta dari gosip tersebut, teman-ia bertanya tentang gosip yang sudah menyebar di sekolah mereka. 

"Katanya si Iqbal suka sama lo, ya?" tanya Milen kepada Ghinta.

"Wah! Masa? Kok gue nggak tahu, ya," jawab Ghinta dan berpikir. "Lo tahu dari mana?"

"Seriusan? Gosipnya udah nyebar, lho!" sahut Ratna. 

"Iqbal—wakil ketua basket itu?" tanya Ghinta.

"Iyalah. Siapa lagi?"

Ghinta sejenak berpikir tentang hal itu. Kok bisa-bisanya Iqbal basket menyukai diriku? Padahal tidak ada yang istimewa dari diriku. Pikirnya dalam batin. 

Padahal sejujurnya, Ghinta memang menyukai sosok Iqbal. Namun ia tidak ingin semua teman-temannya tahu tentang perasaan itu, karena ia merasa bahwa dirinya memang tidak ada harapan untuk bisa bersamanya. Satu hal yang membuat Ghinta benci adalah rasa sukanya terhadap seseorang sering tidak bisa terkontrol dan kebanyakan diperlihatkan, ketika ia bertemu atau berpapasan dengan orang yang disukainya.

"Tunggu!" tahan Ghinta yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Langkah mereka ikut terhenti dengan satu kata 'tunggu' yang diucapkan oleh Ghinta kepada mereka.

"Ada apa?"

"Seriusan, Iqbal suka gue?" tanya Ghinta memastikan. Dengan penuh rasa penasaran terhadap jawaban yang akan didengarnya.

"Yaelah! Gosip udah nyebar gitu, masih nggak percaya aja."

"Kenapa? Jangan-jangan lo suka juga, ya, sama dia?" tebak Milen.

"Ngaco!" bantah Ghinta. Lalu ia melanjutkan kembali langkahnya menuju kantin.

Di kantin, terlihat ada banyak orang yang saling berdesakkan untuk mendapatkan sebuah jajanan yang ingin mereka makan. Sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, bahwa di kantin sekolah paling banyak menggemari cemilan cipuk, es kocok dan juga mie instan. Tiga makanan tersebut paling penuh dan sering menjadi rebutan murid-murid di sana.

Ghinta, Ratna dan Milen saling berdesakkan untuk mendapatkan cemilan cipuk dan juga es kocok. Lalu tanpa mereka sadari, ketika mereka sedang berdesakkan, ada seorang pria di depannya yang sedang Ghinta sentuh punggungnya.

LABIL (Plin-plan) [N3 SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang