1

1.8K 143 18
                                    


Mika Pov

Aku tahu bahwa terkadang takdir itu lucu. Betul-betul berniat untuk mempermainkan. Dan aku rasanya sudah tak pernah protes. Tak pernah mengeluh. Aku biasa menerima. Jalani saja. Seberat apapun itu, aku biasa untuk pasrah.

Tapi hari ini, demi Tuhan, aku ingin mengumpat pada si pembuat takdir. Tega sekali Dia! Kenapa dari semua permainan hidup, harus ini yang kujalani? Kenapa dari semua orang dari masa laluku, dia yang berada disana?

Sedari tadi, aku sudah mencoba meyakinkan diri sendiri. Dengan bodohnya berkelakar bahwa mataku menipu. Itu hanya fatamorgana. Bayangan semu. Tidak nyata.

Tapi siapa yang bisa kutipu? Ketika dia berdiri disana dengan tampannya. Ketika aku hanya mengenal satu pria saja yang memiliki tubuh tegap itu. Dan ketika aku kembali merasakan debaran. Itu dia. Itu Renzo.

Lalu apa yang harus kulakukan?

Demi Tuhan! Aku rasanya ingin mendekat. Aku ingin ia memelukku. Ingin ia memperhatikanku seperti dulu.

Tapi apa yang bisa kuharapkan? Kalau kata-kata terakhirnya dulu adalah memintaku untuk tidak pernah muncul lagi. Untuk tidak pernah menggangu.

Salahku. Itu kebodohanku. Ketololanku.

Aku yang tak tahu diri. Sudah syukur dulu dia begitu baik. Aku seharusnya paham untuk tetap diam saja. Seharusnya perasaan itu tidak pernah tersampaikan. Seharusnya kupendam. Seharusnya kubiarkan saja. Tapi.. kukira dulu ia menyayangiku. Siapa yang bisa menyangka kalau kemudian aku ditolak? Siapa yang bisa mengira kalau hinaan yang kudapat kemudian?

"Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"

Dan kalimat perintahnya dulu kembali bergaung. Dengan keras di telingaku. Seolah-olah Renzo sedang berbicara dekat sekali. Dan efek sampingnya masih sama. Masih sakit. Masih pedih.

Dan sekali lagi, tubuhku mengikuti. Tubuhku mengingat. Untuk terdiam kaku. Untuk merasakan getaran pada kedua kakiku.

Ya Tuhan... aku menarik napas. Dengan perlahan. Tenanglah. Kejadian itu sudah berlalu. Sudah terjadi lama sekali. Sudah tujuh tahun. Pria itu bahkan mungkin sudah lupa.

Dulu, ia pasti hanya sedang marah. Tidak terlalu bermaksud dengan kata-katanya. Dan kalau aku datang sekarang, mungkin tak apa. Bahkan mungkin ia tidak akan ingat lagi pada kejadian itu.

"Jadi coba saja. Datang padanya. Mendekatlah. Pura-pura saja tidak pernah ada yang terjadi. Berpura-pura lah seolah kalian hanya kenalan lama." Kataku terus. Berusaha menyemangati diri sendiri.

Bukankah selama ini, aku telah menjadi seperti itu?

Berpura-pura.

Aku telah terlatih. Dan seharusnya ini mudah.

Ini pasti mudah.

Dan dengan begitu, aku mendekat. Berjalan perlahan. Dengan nampan di tangan.

Nampan..

Astaga.. aku langsung berhenti. Bagaimana aku bisa lupa?

Tidak mungkin. Aku tidak mungkin lagi datang padanya. Renzo berada di pesta ini, karena ia adalah tamu kehormatan. Dan aku datang kesini, karena diperintah untuk melayani mereka.

Tidak mungkin aku mengganggunya. Setidaknya, tidak pada saat ini. Saat aku bekerja. Saat mungkin ada bepuluh-puluh orang yang mengenal sosok laki-laki itu.

Aku tidak ingin mempermalukannya. Dan membuat Renzo lagi-lagi mengeluarkan perkataan seperti yang diutarakannya dulu.

Aku tidak ingin kami lagi-lagi mejauh.

Walau aku tidak lagi berharap menjadi kekasihnya, setidaknya aku ingin kami bisa kembali berbicara. Sebagai kenalan lama. Sebagai tetangga lama.

Mudah-mudahan saja dia masih ingat padaku. Dan mudah-mudahan pula, ia masih ingat pada adikku Dias. Dan kemudian aku langsung ingat juga pada adiknya yang cantik. Sila. Bagaimana ya kabar dia?

Ah dia pasti baik-baik saja. Terutama ketika Renzo telah sukses seperti hari ini.

Dengan begitu, aku kembali bekerja. Kali ini, dengan semangat baru. Yang lebih membara. Juga hati yang lebih lapang.

Entah kenapa, aku merasa yakin Renzo akan menanggapiku nanti. Katakan lah itu naluri.

Sampai akhirnya, secara tidak sadar, aku berada tepat di hadapan Renzo. Benar-benar tepat di depannya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi.

Aku melihat ke sekitar. Semua orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan kami. Lalu kembali menoleh ke arah Renzo. Ia berdiri tegap. Tampaknya, ia tertegun. Lalu ia, mengamatiku. Benar-benar mengamati sampai pada pakaian pelayan yang kukenakan.

Aku menelan ludah. Langsung merasakan jantungku berdebar gila-gilaan. Tubuhku kaku.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan?

Ya ampun.. mana semangatku tadi?

Tanyakan kabar, batinku. Ayo tanyakan..

Namun kemudian, Renzo mengeluarkan suaranya terlebih dahulu.

"Halo, Mikaela."

Dan membuatku nyaris pingsan.

Dia ternyata.. mengingatku!

.

.

(16 April 2020)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Wrong ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang