Gelap. Semuanya berangsur gelap.
"Jadi bagaimana, mbak Mira?"
Tanganku gemetar. Aku ketakutan. Pandangan mataku berlarian kesana kemari tak karuan. Entah kenapa rasanya aku mau limbung.
"Ini tema yang tidak terlalu sulit dan disukai semua orang, apalagi cewek-cewek remaja. Anda boleh tetap di jalur anda. Tapi cobalah sedikit berkreasi agar dapat menarik banyak perhatian para pembaca."
Tuhan! Plis, buat aku kuat untuk menghadapi ini!
"Mbak Mira, ada apa? Kenapa wajah anda pucat?" tanya wanita yang sejak tadi berbicara di depanku.
Aku menatapnya dengan napas terengah-engah. Seakan-akan baru kembali ke kenyataan. Ku lihat sekelilingku. Aku masih tetap di food court bersama dengan editor yang ku temui hari ini. Bibirku ku paksa untuk tersenyum manis untuk memberitahunya bahwa aku tidak apa-apa. "Maaf, tiba-tiba kepala saya sakit. Tapi saya masih bisa lanjut kok."
"No no no no. Jika anda tidak merasa sehat, seharusnya kita hentikan saja dulu. Saya minta maaf telah meminta anda untuk bertemu ketika keadaan anda seperti ini," maaf wanita itu dengan sopan.
"Tidak apa-apa. Saya pendekar lo! Sakit gini mah saya kuat!" kataku dengan berusaha ceria dan mengangat otot lenganku yang sebenarnya tak ada. Tapi wanita itu tetap tak enak hati. Jadi dia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan yang sebenarnya ku tunggu sejak minggu kemarin ini. Beliau menyarankanku untuk segera ke dokter untuk memeriksakan sakitku. Benar-benar orang baik, kataku dalam hati. Walaupun aku tidak menuruti perkataannya dan malah pindah ke meja food court lain untuk menemui orang-orang yang menungguku disana.
Dua sahabatku yang setia mengawasi pertemuan ini dari kejauhan, Yogi dan Annisa.
"Gimana gimana? Novelmu lolos?" tanya Annisa dengan tak sabar setelah dia menyeruput boba milk tea nya dan aku duduk di hadapannya.
"Wajah lu kucel kok gitu? Novel sebagus itu ditolak?!" tanya Yogi dengan kurang ajar.
"Revisi," jawabku singkat sambil menyenderkan kepalaku ke meja dengan lunglai.
"Berarti diterima dong??" kejut Annisa girang.
"Bisa dibilang gitu."
"Terus lu kok lemes?" tanya Yogi memperhatikan kelesuanku.
Aku mendongakkan wajah ke dua orang itu, tapi daguku masih tersandar di meja. "Disuruh kasih kisah cinta di dalam ceritanya."
Jederrr!!!! Aku merasa seperti ada petir yang menyambar diantara kami, namun tak menyambar siapapun. Tidak sih. Petir itu menyambar hatiku hingga rasanya tambah lemas. Annisa menutup mulutnya. Mungkin dia sedang menahan tawa. Sementara Yogi memasang wajah aneh, tapi dia kelihatan menahan ekspresinya itu.
"Hah! Dasar kalian!" keluhku tambah lemas. "Kalian tahu aku kan bagaimana."
"Iya iya. Sabar ya, Mir!" kata Annisa menenangkan. Lalu dia mengaduk Boba milk tea-nya seraya mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu dia mencolek tanganku. "Lihat deh! Cowok yang di dekat tempat pemesanan itu. Keren banget ya!"
Aku dan Yogi memandang ke arah yang ditunjuk Annisa. Terlihat seorang laki-laki yang tengah sibuk menulis di buku, seperti mengerjakan tugas. Sebentar-sebentar dia melihat smartphone-nya, lalu lanjut menulis lagi. Kemudian dia mengetik sesuatu di laptopnya. Kelihatan tampak sibuk sekali.
"Tuman! Ada cowok ganteng dikit aja langsung gatel!" gerutu Yogi, yang merasa kegantengannya tak dipedulikan.
"Dih! Yogi cemburu!" ejekku.
"Ini bukan gatel! Ini tuh namanya obat badmood!" kata Annisa. "Cowok itu kayanya galak dan tegas. Tapi lihat, penampilan dan gayanya cool abis! Beruntung banget yang punya pacar kaya dia. Dia tuh kaya sosok yang melindungi orang yang melindungi siapapun gitu."
"Huwek!" tanggapku dan Yogi mau muntah. Halunya Annisa kumat.
Aku pun merasa kesal dan beranjak dari kursi.
"Mau kemana?" tanya Yogi.
"Cari obat," jawabku singkat dan cuek. Kakiku berjalan menuju tempat pemesanan makanan. Iya, inilah obatku ketika sedang badmood seperti sekarang.
"Pesan apa, mbak?" tanya mbak kasir dengan ramah.
"Aku pesan...." Ku lihat daftar menu makanan yang tersedia di meja. "Mie super pedas level tujuh dengan topping jamur dan telur diatasnya. Oh ya, nanti kuahnya yang banyak mbak, tapi jangan sampai luber di mangkok. Bawang gorengnya yang banyak juga. Siomay tiga aja. Gak usah dikasih sosis kaya gambar ini. Satu lagi, sayurannya jangan banyak-banyak dan micinnya dikit. Lalu buat minumnya, es teh lemon. Es batunya dua kotak aja, lalu gulanya 1 sendok teh. Jangan banyak-banyak."
Mbak kasir itu tersenyum aneh dan bertanya lagi, "Maaf, mbak. Bisa diulangi lagi?"
Aku meminta kertas yang tidak terpakai dan menulisnya sendiri disana, lalu ku serahkan pada kasir lagi. Setelah itu, aku tetap berdiri di depan kasir. Ku pilih untuk membawa sendiri makananku ke meja. Tak ku biarkan tukang masak dan pelayan sini melakukan kesalahan pada makananku!
Lima belas menit kemudian, makananku siap. Aku membawa mangkok mi dan es tehku dengan nampan menuju mejaku, meja bersana Yogi dan Annisa. Ah, akhirnya....
Bruk! Eh! Kakiku tak sengaja menyenggol salah satu kaki meja disana. Untungnya badanku tidak jatuh. Tapi... Oh, tidak! Makanan berhargaku tumpah ke sebuah jaket salah satu pelanggan disini. Jaket yang tersandar di sebuah kursi itu pun basah dan kotor. Sebagian buku dan layar laptop di meja terkena cipratan kuah mi. Mati aku! Ini adalah tempat duduk cowok yang dilihat oleh Annisa. Bagaimana ini? Kebetulan orangnya tidak ada sekarang. Tapi kalau tiba-tiba dia muncul dan melihat apa yang terjadi di belakangku....
"Hei, lo apain tugas-tugas gue?" tanya seseorang dibelakangku.
Mati! Dia benar-benar di belakangku!
Dengan sekuat hati, badanku berputar ke arah laki-laki itu. Seperti yang Annisa duga tadi, laki-laki tampan dan keren itu tampak garang dengan menatapku tajam. Aku seperti anak ayam yang berhadapan dengan serigala besar. Haduh, bagaimana ini? Sebenarnya aku aja bertanggung jawab, tapi melihat wajah kagetnya, matanya yang melotot, membuatku ciut untuk berkata-kata.
Matanya yang semula melotot kaget itu lama-lama berangsur lemah dan sayu. Seperti ada titik air disudutnya. Kemudian dia menampilkan senyuman ramah. Mungkin dia tahu, bahwa aku takut wajah marahnya. Lalu dia memperhatikan kembali jaket dan tugas-tugas-nya yang kacau karenaku. "Ya ampun, maaf," ucapnya. "Aku kira apa. Sudah tidak apa-apa sekarang. Aku bisa mencuci jaketnya nanti. Tugasnya juga bisa dibuat lagi."
Eh? Dia gak marah?
"Itu seperti biasanya kan?" tanyanya sambil melihat jaketnya yang penuh makanan.
"Hah?" Aku kaget. Begitu juga Annisa dan Yogi yang mendekatiku.
Bukannya memperjelas keadaan, dia berjalan menuju tempat pemesanan makanan. "Maaf mbak. Makanan yang dibawanya jatuh. Bisa pesan lagi kaya gitu?" kata laki-laki itu pada mba-mbak disana.
"Kak, pesanannya...."
"Mie super pedas dengan topping jamur dan telur. Sayurannya jangan banyak-banyak, micinnya juga. Kuahnya banyak tapi jangan sampai luber, takutnya nanti tumpah lagi. Bawang gorengnya juga banyak. Siomay tiga aja. Gak usah pake sosis. Terus es teh lemon dengan es batu dua kotak aja dan gula satu sendok teh," pesan laki-laki tanpa ada jeda. "Oh ya, pasti dia pesannya mie super pedas level tujuh, tapi kasih dia level lima aja, Mbak. Dia suka sakit perut soalnya setelah makan."
Mbak kasir itu menulis semua pesanan itu dengan teliti dan cekatan. Maklum, yang pesan adalah cowo ganteng, bukan aku yang sesama wanita. Tapi tunggu, bagaimana dia tahu campuran makanan kesukaanku?! Apalagi takaran es teh lemonku?
Mbak itu mengulangi pesanannya dan menghitung total harganya. Aku berdiri menolak dibayar oleh laki-laki asing itu. Tapi dipotong mbak kasir itu, "Wah, kakak hafal sekali makanan kesukaan temannya. Padahal saya tadi agak bingung."
"Tentu saja, dia kan pacarku."
HEHHH???!!!!
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
RomanceMira, seorang mahasiswi yang suka menulis novel misteri, namun dia seorang Philophobia (seseorang yang takut jika berhadapan dengan segala sesuatu tentang cinta). Suatu hari novelnya lolos di penerbit, namun dia ditantang oleh editornya untuk membua...