“Langit membiru, mengarahkan jiwa menuju harapan hati yang terskenariokan oleh diri sendiri.”
---------------------------------
Yufid masih duduk di lapang sekolah bersama yang lain. Menikmati desiran angin kasar yang tercampur dengan dentingan suara remaja yang akan menjadi siswa SMA itu.
Suara yang bernada tegas dari sang OSIS dengan balutan sikap gagah membuat setiap juniornya saling berbisik. Menambahkan rasa sesak yang bersemayam di benak.
“Kalian itu, harus kuat dan tahan banting. Buat kalian para lelaki, jangan lebay! Baru kena sinar matahari sedikit saja sudah rusuh.”
Gendang telinganya terus menerima celotehan para pembina yang berbicara di depan itu dengan sikap yang angkuh. Melihat OSIS itu berjalan bolak balik tepat di hadapan, Yufid mendelikkan mata. Hatinya berkata, ada aliran kesombongan yang menjalar di raut muka orang itu.
"Sungguh tak ada gunanya kita di kumpulkan seperti ini. Malah akan menimbulkan penyakit jika terus-terusan di jemur.” protes salah satu orang di sampingnya.
"Cuman bisa duduk seperti patung kayak gini, ngobrol sedikit diintimidasi. Sungguh menyiksa. Apakah mereka tidak tahu, panas matahari pada jam satu siang tidak baik?" keluh salah satunya lagi.
Yufid tak mempedulikan celotehan orang di sampingnya. Protes di belakang tanpa adanya tindakkan tak akan bisa menyelesaikan apa pun.
Dijalani dengan tabah dan sabar perkumpulan di lapang upacara itu akhirnya berakhir. Kebebasan yang didambakkan oleh seluruh calon anak putih abu.
Yufid berlari ke arah kursi yang tertata rapi di dekat pohon besar dekat pintu ruang komputer. Dia duduk di sana sembari meneguk sebotol air yang dia bawa dari rumah. Sekilas, dia menatap langit kota Bandung yang di hiasi ukiran awan putih yang indah.
Matanya menelusur ke depan menyapu gerombolan manusia yang berlalu lalang. Dia istirahat sejenak. Tubuhnya mengeluarkan keringat. Refleks, tangannya pun mengangkat dan mengipas-ngipas wajahnya.
Sebagai siswa yang masih berada dalam suasana pengenalan, dia belum begitu kenal siapa pun.
Kali ini, temannya hanya matahari yang menyengat dan ponsel pintar berukuran 7 inci yang berlogo apel digigit yang setia dipeluk jemarinya. Ponsel yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan masyarakat menengah ke atas.
Matanya berputar 180 derajat dari kiri ke kanan menyapu area. Dia menangkap seorang perempuan yang sedang menatap sebuah buku tepat di sampingnya.
"Mampus! Kenapa gue nggak sadar ada kakak kelas di sini," gerutunya dalam hati.
Dia terkejut. Bukan apa-apa, tapi dia hanya takut aktivitasnya yang dari tadi dia lakukan diperhatikan oleh perempuan itu. Dia baru sadar, dari tadi dia mengupil, mengelap keringat menggunakan kemejanya, serta menggaruk telinga dengan jari telunjuknya.
Ada rasa malu yang terlintas di benaknya? Tidak. Dia bukanlah sesosok remaja bersifat jaim atau membodo amatkan sesuatu. Bahkan Yufid tertarik untuk menyapa perempuan itu. Kebetulan di tempat itu hanya ada mereka berdua. Dia mengerti arti bersosialisasi.
“Kak, baca novel?" pertanyaannya memecahkan keheningan.
"Iya," jawab perempuan itu. Sekilas perempuan berwajah manis itu melirik Yufid yang penuh dengan keringat.
"Kalau aku sih nggak terlalu tertarik baca kak. Aku lebih tertarik untuk menonton."
"Oh, gitu."
Jawaban singkat yang terlontar, membuat Yufid tak mampu berkata apa-apa. Dia tahu orang di sampingnya itu tengah asyik bercengkerama dengan bukunya. Sehingga tidak tertarik untuk merespon perkataan yang dia ajukan. Dia bersalah, sudah mengganggu orang yang sedang melahap cerita.
"Kamu, dari SMP mana?"
Tiba-tiba perempuan itu membuka obrolan kembali. Hal ini membuat Yufid menampakkan kembali untaian kalimat yang tadi hampir dia kubur.
"Saya dari SMP Negeri Harapan Bunda Kak,”
Berhenti sejenak. Yufid menarik napas dan melanjutkan bicara.
"Eh, Kak, suasana sekolah di sini seperti apa, sih? Minta pendapatnya. Supaya saya bisa menyesuaikan diri,” ucapnya dengan tutur gaya yang menarik lawan bicara.
Perempuan itu, menuturkan kalimatnya. Seperti ada sengatan untuk mengalirkan suara menuju gendang telinga lawan bicaranya. Sebuah cerita dan pengalaman yang telah singgah di hatinya, diluapkan pada Yufid.
Tutur kalimat terlontar dari mulut manis perempuan itu. Suaranya lembut membuat si pendengar merasa seperti disuguhkan sebuah dongeng.
"Ok! Kak, terima kasih ya sudah bercerita denganku. Eh kak, saya pergi dulu. Kali ini ada materi, entah tentang apa. Tapi aku ikut saran kakak tadi, bahwa aku harus bergabung supaya segera mendapatkan teman,"
Perbincangan berakhir. Perpisahan terjadi meninggalkan perempuan itu sambil bertukar senyum. Semakin jauh, dan akhirnya menghilang.
Setelah berkumpul bersamaan dengan yang lain, Barulah sadar ada hal yang membuatnya tidak puas. Ya, dia belum tahu siapa nama sesosok perempuan yang telah mencipratkan pengalaman itu padanya.
Yufid tertegun, Sampai sesosok laki-laki di samping mengagetkannya.
“Jangan melamun, nanti setan masuk ke tubuh kamu!"∆∆∆∆
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK KELAS ATAS
Teen FictionBagaimana ya, sikap Yufid kepada sahabatnya, Alvin? Ketika anak dance cover boyband Korea itu, melakukan hal yang memalukan? Menghamili pacarnya?