BAB 2

3.9K 482 67
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

"Sendiri, sepi, seperti orang hilang yang tak mengenal jati diri.
Perasaan itu tiba-tiba muncul di saat menyendiri. Membias tanpa arah, mencederai rasa dan juga asa."
***

Berbagai mata melirik ke arah pria berkemeja navy blue dengan celana kain cokelat. Wajahnya tidak menampakkan raut yang cukup ramah. Pandangannya selalu sinis. Tapi anehnya masih saja ada yang lirik oleh mereka para perempuan sosialita yang gaya hidupnya serba glamour, kecantikannya bermodalkan make up dan barang-barang branded. Wajah lugu mereka tertutupi oleh kenikmatan dunia, lebih tepatnya harta orang tua.

"Hai, Ganteng ...," teriak salah satu gerombolan perempuan sosialita itu. "Cuek banget, sih." Perempuan dengan rambut terurai samping itu mencoba mendekati Rifly.

Ia tidak mengindahkan, Rifly tetap saja berjalan menuju koridor perpustakaan. Namun perempuan itu tetap mengikutinya dari belakang.

"Maaf. Saya tidak ada waktu meladeni kalian," tegas Rifly sambil mengangkat dagunya.

"Ish, ish ... jangan jutek napa jadi cowok. Kaku banget sih. Nggak pernah lihat cewek cantik apa," sentil perempuan itu.

Rifly menutup telingan dan tetap kekeh berjalan masuk menuju perpustakaan tanpa menghiraukan perempuan penggangu itu. Jangankan nama, ia saja tidak mengenalinya. Apa pernah sekelas atau tidak, sungguh ia tidak peduli.

Sudah menjadi langganan Rifly mendapat sorotan dari geng sosialita tersebut. Entah ia menyukai Rifly lalu menggodanya, atau menjaili Rifly karena kesombongannya yang terlalu congkak di hadapan mereka. Itu adalah salah satu cara Rifly menghindari masalah dengan segerombolan perempuan sosialita yang selalu saja memadati pelataran di jam istirahat. Kalau bukan bergosib, mereka memporakporandakan suasana dengan ketawa ketiwinya terhadap sesuatu yang tidak jelas.

Siapa pun akan risih dengan kehadiran mereka, hanya saja mereka seperti penguasa di kampus karena beberapa dari mereka adalah anak pengusaha, investor kampus, dan anak dari dosen di kampus elit tersebut.

Rifly semakin hari tidak menyukai hadirnya perempuan-perempuan itu di lingkup fakultas. Ia berusaha keras untuk menghindar dan tak ingin menampakkan wajah baiknya di hadapan mereka. Seperti ada dendam, tapi begitulah faktanya. Oleh karena itu, perpustakaan adalah tempat aman untuk menghindar dari mereka sembari menunggu azan untuk salat berjamaah di masjid, atau menunggu pergantian kelas perkuliahan selanjutnya.

Saat ini ia sedang memperpanjang buku pinjaman di perpustakaan, setelah itu melanjutkan bacaannya dengan santai tanpa ada yang mengganggunya. Perpustakaan dengan tiga lantai tanpa kebisingan setidaknya membuat Rifly sedikit tenang.

Menuju lantai dua, Rifly menaiki tangga dengan pelan sembari membawa dua buah buku bacaan untuk dibaca. Saat ia sudah berada di atas, suasana terlihat begitu sepi, tak ada satu pun pengunjung. Hanya ada pegawai yang bekerja di meja informasi lantai dua.

Biasanya, siang begini kondisi di lantai tersebut ramai dipenuhi mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan fasilitas komputer dan wifi gratis yang disediakan kampus. Tapi sekarang, semua komputer masih bestatus off. Ke mana semua makhluk super sibuk itu? Sampai tugas yang harusnya dikerjakan di rumah, justru dikerjakan di kampus yang deadline-nya tinggal beberapa jam harus dikumpul ke ketua kelas atau dosen yang bersangkutan.

Rifly kemudian memilih kursi yang ada di pojok kanan dekat dengan jendela yang berhadapan langsung ke lapangan hijau fakultas huku yang sangat luas itu. Joging track yang biasanya ditempati mahasiswa berolahraga di sore hari juga terlihat sepi.

Siang itu entah kenapa kampus di awal semester dua terlihat berbeda. Ada yang mengganjal pada keadaan di sekitar Rifly. Atau ini hanya perasaannya saja? Sejenak ia duduk termangu, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan dedaunan pada pohon itu tertiup oleh angin barat. Hatinya seperti kosong. Tiba-tiba ia terbayang oleh sosok dari masa lalu. Sosok wajah wanita itu seperti ada di hadapannya sekarang. Ia menatapnya begitu dalam; terbesit rindu ingin mendekap dalam bayang. Wajah itu semakin terlihat jelas, tatapan dan senyum yang khas serta lesung pipi yang selalu dirindukannya membuat Rifly tak berkedip.

Semakin dalam, perasaanya semakin tak bisa terkontrol. Hingga pada akhirnya ia dikejutkan oleh seseorang yang memukul pundaknya. "Woy! Ngayal aja terosss. Lagi mikirin jodoh? Ha ha ha." Orang itu tertawa.

Rifly sontak tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah suara yang mengejutkannya barusan. "Ah, Darma! Ngagetin gue aja lo."

"Kenapa? Emang lo pikir siang gini ada hantu apa?" gurau Darma sembari menggeser kursi untuk duduk di sebelah Rifly.

"Ya kali aja lo setannya. Kan tadi sepi banget di sini," jawab Rifly datar.

"Ha ha ha. Ngapain, sih?"

Rifly berpura-pura membuka buku bacaannya. "Ya ngapain lagi selain baca buku."

Darma berdecak. "Ngeles ae terus. Bilang aja si lagi mikirin doi." Kemudian tertawa.

Ia menyenggol bahu Rifly. Anak satu ini begitu pandai mengusiknya dengan berbagai pernyataan cocokloginya. Rifly mendengkus. "Doi apaan?"

"Yaaa doi-doi-an. Noni-noni sosialita, atau wanita yang jauh di sana. Ha ha ha."

Rifly menggeleng kepala. Suka-suka lo aja lah, Darma.

Rifly kembali terdiam, ia kemudian menutup buku lalu mencoba menenangkan pikiran seraya merebahkan kepala di atas meja.

"Eh, ngapain? Udah selesai bacanya?" Darma kembali bertanya.

"Belom. Mau tidurrr," ketus Rifly.

"Wadaw. Baper ... jangan lupa mimpiin doi, ya," godanya.

Rifly sedikit tertawa dalam hati oleh karena Darma yang tak pernah berhenti mengoceh. Sejatinya, pria satu ini begitu kesepian dan cenderung pendiam jika di tempat umum, namun hanya pada Rifly dan orang-orang terdekatnya saja seperti Ilham yang bisa membuatnya terlihat seperti orang yang cukup humoris namun tetap seperti namanya; tampang dan sikap yang darmawan—terkadang.

Mata Rifly mulai tertutup rapat. Pikirannya sudah tertujua pada satu nama yang selalu saja membuatnya lupa kalau ia tidak lagi hidup di masa lalu. Wanita yang selalu ia nanti-nanti untk kembali, nyatanya tak ada lagi.

Masih dengan perasaan dan harapan yang sama. Tertuju pada satu orang yang membuat Rifly menyesali banyak hal. Dari ucapan juga tindakan yang telah dilakukannya di masa itu, ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Bahkan sampai menutup diri dan hatinya dari orang lain.

Rifly, menyelami mimpi di siang hari; memasuki kembali masa dimana hadirnya wanita itu, yang setidaknya pernah membuat hari-harinya terasa utuh.

***

To be continued ....

Afwan, beberapa hari ini jaringan rada-rada "menggemaskan". Jadi kemaren itu saya sudah beberapa kali tried to post this part, tapi selalu gagal. Yaa qadarullah, baru hari ini bisa ter-upload. Insya Allah, Bab selanjutnya nyusul malam ini, yaaa. Tergantung dari jaringan dan TAP LOVE ❤️ dan Comments kalian😇🙏🏻 kalau keseringan jadi silent readers, saya juga malas update-nya wkwk

Pertanyaannya, how about this part?
[Sila komen di sini]

Sekalian saya mau minta saran; teman-teman, baiknya Single Lillah di-update setiap hari apa, yaa selama ramadhan dan maunya pukul berapa? Dijawab yaaa semua pertanyaan saya (wajib).

Single Karena DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang