3) Too Much

123 10 12
                                    

Bolehkah aku mengumpat?

Entahlah, kurasa cuaca siang hari ini cukup panas, atau memang suhu tubuhku yang tiba-tiba memanas. Aku merasa sedang dalam kondisi perasaan yang tidak baik, dengan kata lain aku sedang mengalami mood yang buruk setelah kehadiran orang itu. Padahal, sebelum ini semuanya masih berjalan dengan normal sebagaimana mestinya.

Sepertinya harapanku kemarin tidak menjadi kenyataan, terbukti setelah melihat sosok yang sebenarnya sangat tidak ingin kulihat batang hidungnya lagi kini tengah duduk sekitar lima menit lalu dengan jemarinya yang sekarang sibuk memainkan ponsel.

Oh, ayolah.. ini hari minggu, apakah harus dia menghabiskan masa weekend-nya di cafe? Padahal, baru kemarin dia datang kemari. Kenapa tidak pergi saja bersama teman-temannya untuk sekedar hangout atau apalah yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki?

Menyebalkan.

"Kak, kau saja yang melayaninya, ya." Pintaku pada kak Marisa-- salah satu pegawai disini, sebenarnya dia masih sibuk mencampurkan bahan untuk membuat foam susu.

"Sia.. Kau tidak lihat aku sedang sibuk?"

Aku mencebikkan mulutku sebagai reaksi kecewa atas tanggapannya, sambil manikku ini memperhatikan tangan cekatannya yang mulai mengaduk bahan-bahan tersebut.

"Biar aku saja yang melakukannya. Kak Marisa pergilah ke orang itu." Rayuku padanya sekali lagi.

"Membuat foam susu tidak mudah, Sia. Jika caramu salah bisa saja menjadi encer atau malah terlalu kental, nanti tidak bisa dibentuk."

"Aku bisa, kak. Ayah pernah mengajariku, kok."

Sepertinya ucapanku mampu meyakinkan Kak Marisa, karena kini dia menghentikan aktivitasnya, lalu menghela nafas pelan, "Baiklah, aku akan kesana." Sejenak telunjuknya terangkat ke arahku, "Jangan buat aku dimarahi ayahmu karena hasil foam susunya, ya."

Kak Marisa melenggang pergi setelah beberapa detik lalu telunjuknya tadi digunakan untuk mencoel hidungku dan menampakkan deretan giginya yang rapih.

Kedua mataku mengikuti pergerakan Kak Marisa hingga menuju kepada laki-laki itu. Jangan lupakan tanganku yang masih setia mengaduk adonan foam susu ini. Terlihat Kak Marisa memberikan buku menu pada laki-laki itu.

Ishh, terlalu susah menyebutnya begitu.

Kupanggil saja dia bantet.

Iya, itu lebih baik.

Sebelah alisku ikut terangkat melihat reaksi si bantet yang sempat terkejut. Setelah itu, pandangannya mengedar seperti mencari sesuatu. Dan saat netra kami bertemu, itu membuatku terkesiap sehingga aku segera memutuskan kontak mata ini dan beralih ke adonanku.

Aku malu, tentu saja. Apalagi dengan reaksi spontanitasku tadi, bagaimana jika aku dikira penguntit karena selalu memperhatikannya?

Tapi, memang begitu, ya?

Ah, terserahlah. Lagipula, aku memperhatikannya bukan karena kagum padanya, tidak sama sekali. Apanya yang harus dikagumi dari si bantet itu? Hanya seorang lelaki pendek yang masih dibawah umur saja.

Dasar bocah.

"Sia!"

Tubuhku terperanjat, tetapi untungnya tanganku masih bisa menahan mangkuk aluminium yang berisi adonan foam susu ini.

"Apa yang kau lakukan? Lihatlah, foam susunya jadi terlalu kental. Aku bisa dimarahi ayahmu nanti," Kak Marisa yang baru saja kembali kini terlihat frustasi akibat ulahku.

"Aduh, maaf, kak." Aku juga ikut cemas dibuatnya. Jemariku bergerak sekedar menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal.

Sepertinya tanganku terlalu bersemangat mengaduknya.

FILTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang