2) Moonbucks

213 12 8
                                    

Ting!

Suara bel kembali berbunyi setiap kali ada pelanggan yang datang. Inilah saatnya aku bersiap menghampiri pelanggan tersebut dengan kaos barista yang kukenakan saat ini. Tanganku mengambil apron yang semula menggantung lalu memasangnya di atas pinggangku.

Jika kalian berpikir aku bekerja di cafe ini, kalian tidak sepenuhnya benar. Aku bekerja disini tidak digaji, karena aku tinggal meminta uang kepada ayahku dalam keperluan kuliahku. Meskipun begitu, setidaknya sebagai anak yang baik aku membantu usaha kopi yang dijalani ayahku ini. Aku tidak keberatan, kok. Karena aku menyukai hal ini, menyapa pelanggan dan ikut membantu meracik kopi bersama pegawai lainnya.

Moonbucks, nama cafe milik ayahku ini tidak terlalu besar, tetapi tidak terlalu kecil. Terbukti dengan usaha Moonbucks ayahku saat ini memiliki dua cabang, jadi cafe yang ini adalah cafe utama yang berarti ukurannya lebih besar daripada dua cabang lainnya.

Tema yang digunakan ayahku untuk mendekor tempat ini tidak terlalu semarak dan mencolok, melainkan sederhana tetapi terlihat elegan. Aku menyukai suasana yang seperti ini, terlihat tenang dan lembut. Aku dan ayahku memang memiliki fashion yang sama dalam memilih style.

Kupandang sekilas pria yang masih memakai seragam sekolahnya itu, lalu dua sudut bibirku terangkat, tersenyum ramah seperti yang kulakukan pada pelanggan yang lain.

"Selamat siang, kak. Mau pesan kopi apa?" Tanganku memberikan menu kopi yang berisi berbagai macam jenis kopi, kopi yang ada di menu berasal dari beberapa negara. Itu hasil pengelanaan ayahku saat masih muda yang sangat mencintai kopi.

Manik pria itu meneliti buku menu, "Aku mau Espresso Coffee dua."

"Dua?" Tanyaku sedikit terkejut pada pesanannya.

Pria dengan mata yang hanya segaris itu menutup buku menu lalu menatapku,

"Kenapa? Kau harusnya senang jika aku memesan banyak kopi.. Sia Lambert," matanya menyipit saat mengeja namaku melalui name tag yang kupakai. "Hm, nama yang bagus."

Aku mendengus kesal sembari mencatat pesanannya, sepersekon kemudian netraku menatapnya kembali dengan senyum yang dipaksakan, "Baiklah, silahkan tunggu sebentar."

Aku segera meninggalkan laki-laki tidak tahu sopan santun itu. Namun, baru berjalan dua langkah, tubuhku kembali berbalik karena sebuah suara memanggil namaku.

"Jangan bersikap seperti itu pada pelanggan, aku bisa saja mengadukan perbuatanmu pada bosmu."

Aku menarik dua sudut bibirku dengan amat terpaksa, berbanding dengan tanganku yang meremas kuat pulpen untuk menahan gemuruh dalam hatiku.

Aku memilih untuk menjauh sebelum naik pitam dan mulai memakinya, aku tidak mau membuat pelangganku yang lain pergi karena melihat amarahku nanti.

"Dasar anak muda jaman sekarang. Tidak punya sopan santun. Lagipula, haruskah memesan dua? Dasar maruk! Kembung baru tahu rasa!" Gerutuku sambil menuang bubuk kopi dan gula dengan kesal.

"Siapa yang kau maksud?"

Aku menoleh pada kak Daniel yang sedang fokus pada foam susu yang akan dia bentuk seperti tanda hati.

Aku menghela napas, "Laki-laki yang duduk di tengah, memakai seragam SMA." tanganku mengaduk kopi setelah memberinya air panas.

"Biarkan saja. Hal itu sudah pasti terjadi." kak Daniel tersenyum, perlahan dia pergi membawa kopi pesanan yang dia buat kepada pelanggannya.

Menjadi barista tanpa dibayar ini sudah kulakukan sebanyak lima kali, pekerjaan ini sebenarnya kulakukan hanya untuk mengisi waktu libur kuliahku setiap hari Sabtu dan Minggu. Tapi, kejadian hari ini merupakan hal yang baru bagiku, harus membuatku menahan emosi untuk menghadapi pelanggan sepertinya. Aku tidak bisa membayangkan menjadi kak Daniel yang usianya tiga tahun lebih tua dariku dan sudah bekerja disini selama empat tahun harus menghadapi pelanggan yang mungkin banyak maunya.

Saat kurasa emosiku sudah sedikit meredam, aku membawa nampan berisi dua cangkir kopi kepada laki-laki tadi yang ternyata saat ini dirinya tidak duduk sendiri, ada pria lain berhoddie hitam duduk membelakangiku.

Jadi, ini alasan dia memesan dua kopi?

"Maaf menunggu lama, selamat menikmati.." ucapku dengan senyum yang kuukir kembali, mencoba melupakan peristiwa beberapa menit yang lalu.

"Sampai kapan kau akan terus membolos seperti tadi, Tet?"

Bukannya aku menguping, hanya saja teman laki-laki itu berbicara saat aku sedang menaruh kopi di atas meja. Jadi, mau tidak mau aku harus mendengar obrolan tak sedap didengar itu.

Tetapi, ada sesuatu yang membuatku harus menahan tawa. Bukan mengenai obrolan mereka, bukan. Melainkan panggilan yang diberikan laki-laki berhoddie hitam itu dengan panggilan 'tet'.

Tet? Bantet, maksudnya?

"Pfft!"

Mereka berdua menoleh, terutama pria yang kukira bantet itu menatapku horor, reflek membuatku tersadar dan menutup mulutku. Sebelum keadaannya menjadi buruk aku segera meminta maaf, "Ah, maafkan saya yang tersedak tiba-tiba. Saya pergi dulu, selamat menikmati.."

Aku segera meninggalkan mereka setelah memberikan alibi yang cukup masuk akal menurutku.

Langkah kaki ini bergerak menuju dapur, sekedar mengembalikan nampan yang sebelumnya kupakai. Tanganku meremat nampan cukup kuat, sambil berharap supaya hari ini menjadi hari pertama dan terakhirku melihatnya.

.

.

.
Bersambung

(Jimin BTS as ?)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Jimin BTS as ?)

A/n : Don't forget leaving a vote and comment💟

FILTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang