5) Road to Jakarta

74 7 2
                                    

Di pagi-pagi buta, pukul empat dini hari ini aku sudah disibukkan untuk memastikan kembali barang-barang yang akan aku bawa dan menyiapkan apa yang sekiranya masih kurang.

Jadwal penerbangan dari sini menuju Jakarta yaitu pukul tujuh pagi, dan aku membutuhkan waktu sekitar lima puluh menit untuk sampai ke bandara. Oleh karena itu, aku harus bangun lebih pagi agar semuanya dapat terkondisikan. Aku bukan tipikal yang suka terburu-buru.

Setelah kurasa semuanya sudah beres, netraku kini menatap dinding sekedar melihat jam yang menggantung di sana. Sudah jam lima lewat sepuluh menit, aku akan membersihkan diri sekarang.

Hanya butuh waktu sepuluh menit sampai aku keluar dari kamar mandi. Kupilih salah satu pakaian yang tersisa dalam lemari dan memakainya. Lalu, jari telunjukku mencolek sebuah suncream dan mengaplikasikannya pada wajahku. Mentap-tap bedak padat ke wajah, membubuhi lagi dengan blush-on oranye kecoklatan secara tipis dari pipi hingga pelipis. Tidak lupa, aku mewarnai bibirku dengan sebuah lip-tint berwarna pink oranye sebagai tahap akhir dalam merias wajah.

Kulihat kembali penampilanku melalui cermin dan memperhatikan wajahku sejenak. Oke, tetap terlihat natural dan lebih segar.

"SIA.. KAU SUDAH SIAP?" Teriak ayah dari lantai bawah.

Kubawa semua barang-barangku yang dijadikan satu di dalam koper merah muda yang cukup besar ini beserta slingbag yang sudah bergelayut di bahuku, "IYA, AYAH. AKU SEGERA TURUN!"

Kakiku melangkah terburu-buru menuruni setiap anak tangga menuju ke bagasi mobil. Lalu, kuletakkan koper ini di bagian belakang mobil, dan setelahnya aku mendaratkan bokongku di kursi penumpang yang ternyata sudah ada ayah di kursi kemudi sedang memanaskan mobil.

"Tidak ada yang tertinggal, kan?" Tanya ayah memastikan.

Aku terdiam sejenak tampak berpikir, tiga detik setelahnya kujawab dengan sebuah gelengan, "Tidak ada."

Barulah ayah mulai menginjak pedal gas secara perlahan, memutar setir mobil ke kanan sehingga berbaur dengan jalan beraspal.

Mobil sedan hitam ini membelah jalanan yang masih sunyi, belum ada manusia yang berlalu-lalang menyibukkan diri pada pekerjaannya, mungkin hanya beberapa. Ada yang sedang jalan sehat, dan ada juga penjaga minimarket yang baru saja membuka tokonya saat mobil ini melewatinya.

Ngomong-ngomong soal minimarket. Aku jadi teringat kejadian tempo hari. Dimana Reyond bilang bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami, saat itu aku mengikuti arah pandang Reyond yaitu di sebuah kaca besar memanjang minimarket, memang ada seorang pria bertopi hitam dengan postur tubuh yang kurasa tidak asing. Namun, ketika aku berbalik supaya dapat melihat dengan jelas, orang tersebut sudah hilang, tidak ada dalam penglihatanku.

Saat itu, aku kembali menatap Reyond, mengatakan padanya agar jangan terlalu dipedulikan. Tetapi, jika pemikiranku ini benar.

Mungkinkah?

"... perkembangannya, Sia?"

Aku mengerjap beberapa kali, berusaha mengembalikkan titik kesadaranku. Aku menoleh, menatap ayah yang kini tengah menatap dengan alis berkerut.

"Iya, ayah?" Ulangku sekali lagi.

"Tugas praktek ini sudah kalian jalankan selama 10 bulan, bukan? Jadi, sejauh ini bagaimana perkembangannya?"

Sejenak aku mengangguk, "Iya, ayah. Sejauh ini, kami sudah banyak menarik konsumen di kota kita untuk menyukai produk moonbucks. Tapi, untuk mencapai target dalam sisa 2 bulan ini kurasa masih cukup jauh."

"Ayah juga pikir begitu." Siku ayah bersandar pada kaca mobil dan mengusap dagunya. "Disini tidak terlalu banyak penduduknya seperti di kota-kota besar, dan tidak semuanya juga tertarik dengan kopi, karena mereka pikir rasa kopi hanya begitu-begitu saja. Padahal, jika mereka mencicipinya dengan baik, ada banyak kenikmatan di setiap rasa yang berbeda-beda."

FILTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang