7) I'm Home

65 3 0
                                    

Semua orang pasti pernah mengalami ketakutan, kegelisahan maupun kekhawatiran pada suatu hal yang bahkan belum terjadi. Itu hal yang manusiawi.

That's normal, right? Bayangan-bayangan buruk mungkin saja terlintas sehingga menjadikan seseorang ragu untuk melangkah maju.

Begitupula denganku, aku merasakan hal yang sama. Tapi, dari situ juga aku menyadari bahwa segala sesuatu harus dihadapi, bukan? Karena jika aku tidak bisa menguasai segala ketakutan dalam diriku, usahaku sejauh ini akan sia-sia. Ibarat sebuah rumah yang hampir selesai dibangun, jika kita menyerah, mungkin saja rumah itu akan roboh, dan perjuanganmu dalam membangun rumah tidak berarti lagi.

Aku bersyukur berada di lingkungan yang selalu mendukungku dalam setiap aspek hidupku, menjadi pendorong untuk mengalahkan keraguanku. Sampai aku sudah tiba pada akhirnya, dan membawa kabar bahagia. Karena kini, di hari ke-24 di Jakarta, aku dan mereka berhasil menyelesaikan projek ini dengan hasil maksimal. Aku sudah mencapai targetnya, bahkan lebih dari target yang diberikan padahal belum ada satu bulan.

"Wah, gila! Aku masih tidak percaya kita bisa menyelesaikannya." Seru Shofia yang entah sudah keberapa kalinya.

Lima belas menit yang lalu, kami berencana merayakan keberhasilan kami dalam pemasaran produk kopi dengan mengunjungi sebuah restaurant. Agak sedih karena kami merayakannya dengan team yang tidak lengkap, tidak ada Clarissa pun Noel.

Aku menghela napas, diri sendiri juga masih belum bisa menerima bahwa aku sudah berhasil. Aku bahagia, tentu saja. Namun aku tahu, tugasku tidak sampai di sini saja, bahkan ini masih awal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, pada karirku, hidupku, dan hubunganku dengan orang-orang disekelilingku.

Netraku perlahan menatap manik Reyond yang juga tengah menatapku disertai dengan senyumnya. Aku segera memalingkan wajahku, menghindari tatapannya yang selalu membuat jantungku tidak bekerja seperti biasanya semenjak saat itu. Saat dimana Reyond mulai mengutarakan isi hatinya, menyatakan bahwa dirinya menyukaiku. Aku tidak mau mengingat bagaimana reaksiku saat itu, yang pasti salah satu reaksi itu sama seperti yang aku alami saat ini.

Kukira satu kata yang dikatakannya saat itu hanyalah main-main, tapi malah berujung dirinya mengungkapkannya. Membuatku membeku di tempat dan sampai sekarang aku belum membalas perasaannya.

Entahlah, Reyond itu baik, tapi hati kecilku masih belum ingin menerima, pada siapapun itu. Selama ini, aku berusaha bersikap menjadi seseorang yang profesional terhadapnya, menyingkirkan hal yang berpotensi membuatku tidak fokus pada projekku, mencoba bahwa kejadian tersebut tidak pernah terjadi, namun kini aku mengingatnya lagi, seakan mendongkrak bahwa semuanya bukanlah imajinasi maupun mimpi belaka.

"Sia,"

Aku terkesiap karena ulah Shofia yang mengguncang tubuhku meski pelan. "I-iya?"

"Kau baik-baik saja?" Nampak kekhawatiran dari sorot wajahnya.

"Aku baik-baik saja, tidak usah cemas."

Raut wajah Shofia seketika berubah, "Jangan ge-er, aku hanya kasihan pada steak-mu yang cuma kau tusuk-tusuk dengan garpu tanpa kau makan. Kalau tidak mau, buatku saja." ucapnya yang mulai mengambil dagingku, namun ditarik kembali karena aku lebih dulu memukul tangannya.

"Kalau mau nambah, pesan sendiri!"

Shofia memberengut sambil mengusap-usap tangannya. Dan Reyond, aku tidak terlalu memperhatikannya namun kudengar dirinya kini sedang tertawa yang entah menertawakan siapa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FILTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang