Aku

4 1 0
                                    

Malam itu, Zakir pamit padaku untuk kembali dari kampung halamannya. Aku tentu mengizinkan nya, semakin cepat ia kembali, maka semakin cepat pula kami bertemu.

Tidak, aku tidak mengharapkan pertemuan yang tidak senonoh. Hanya saja, diriku lebih lega saat kami berada di satu daerah yang sama tanpa harus terpisah oleh jarak yang jauh.

Aku semakin tak sabar saat ia mengabariku bahwa dirinya sudah dekat dengan kota tempat tinggal kami. Namun, saat aku ingin menelfonnya, ponselnya tak aktif.

Jangankan ponselnya, nomor ponsel nya pun tak dapat dihubungi. Jujur, kegelisahan ku semakin bertambah. Aku seakan-akan ingin menyusulnya ditempat yang disebutnya tadi. Namun, aku terus berfikir jika ponselnya sedang kehabisan dayanya.

Pukul 02:45, ponselku berbunyi dan terpampang namanya di ponsel ku. Jujur, aku sangat kaget saat itu. Tak berfikir panjang, kuangkat telfonnya dan terdengar suara tangisan dari seberang sana.

"Maaf, apa anda yang bernama Miura?" Tanya seorang dengan suara perempuan.

Mendengar nama Miura, sontak aku mengiyakannya, karena namaku di kontak ponselnya memang Miura.

"Iya, kenapa ponsel Zakir ada di anda?" Tanyaku balik.

"Maaf nak, saya Ibunya Zakir." Ucap wanita itu.

"Zakir sudah tiada nak, dia meninggal karena kecelakaan." Ucap Ibu Zakir.

Aku melepas genggaman pada ponsel ku dan menatap kosong sajadah ku. Baru saja aku berdoa akan keselamatannya, namun Tuhan berkehendak lain akan takdirnya.

Air mata mengalir di pipi ku tanpa bisa kubendung. Masih terdengar lirih suara Ibu Zakir pada panggilan yang masih tersambung itu.

"MAMA!" Aku berteriak memanggil Ibuku yang sedang tertidur di kamarnya.

Tak lama Ibuku menghampiriku dan mendapatkan kondisiku yang sudah menangis sejadi-jadinya.

"Ma, Zakir meninggal." Ucapku lirih yang kemudian di balas pelukan oleh Ibuku.

Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Ibuku. Tak khayal, aku kemudian tak mengingat apapun lagi. Pandangan ku menggelap dan tak kudengar suara apapun lagi.

.

4 Hari Kemudian...

Ku buka mataku dan melihat ada setitik cahaya terang yang menghalangi penglihatan ku. Bau obat bercampur jadi satu dalam penciuman ku.

Namun, satu yang kuingat. Hanya Zakir yang terlintas di fikiranku.

"Zakir," ucapku lirih.

Tak lama kulihat Fatih berjalan kearah ku dengan wajah cemas nya.

"Mir, kau tidak apa-apa? Mana yang sakit?" Ucap Fatir.

Aku hanya menggeleng pelan. Fatir lalu mengambilkan air minum untukku dan menyodorkannya kearah ku.

"Bang, Zakir dimana? Kenapa aku bermimpi kalau Zakir sudah meninggal?" Ucapku masih setengah sadar.

Fatir hanya menunduk, ia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa ia katakan.

"Abang, Zakir dimana? Dia sudah kembali ke kota kan?" Ucapku cemas.

Tolong, jadikan semua ini hanya mimpiku saja.

"Zakir sudah meninggal dek." Ucap Fatir yang membuatkan tertawa karenanya.

"Hahahaha, kamu lucu bang. Mana mungkin Zakir meninggal." Ucapku sambil menghapus air mataku.

"Tidak dek, Abang nggak bercanda. Zakir emang udah meninggal 4 hari yang lalu." Ucapnya pelan.

Aku menghentikan gerakan ku dan mencerna kata-kata sahabatku itu.

Kumpulan Short Story (Hurt Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang