Four

4.2K 362 13
                                    

Haiii sygggg aa kembali...
karna pada minta sad ending
yauda aa kasih sad hshshshshs

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


"Annyeong tuan taeyong, sekarang anda berada dimana?" tanya seseorang dari seberang sana yang ia kenal bernama haechan—pelayan pribadinya.

Untuk sesaat taeyong tampak terdiam, ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk bersuara. "A—ku seda—ng dala—m per—lanan pul—ang." ucapnya dengan putus-putus.

"tuan, ada apa dengan suara anda nona?" tanya haechan lagi kali ini dengan nada sedikit panik. Pemuda pelayan itu tampak khawatir dengan kondisi tuannya di luar sana yang mungkin dalam kondisi buruk akibat cuaca.

"Gwae-gwaenchana.., hany—a…sedik—it serak, uhuk." ucapnya disertai dengan batuk pelan di akhir kalimat, sebagai syarat meyakinkan bahwa dirinya tengah sakit.

"Astaga tuan, bagaimana bisa begitu?"

"Sudah—lah, buk—an masa-lah. Se-karang, ad-a…ap-a—uhuk?" tanyanya masih dengan sandiwara yang sama.

Di seberang sana sang pelayan tampak tengah menimbang-nimbang perihal yang akan ia sampaikan pada sang majikan. "i-itu..tuan. Hari ini tuan dan nyonya besar akan pulang dan mengadakan sebuah pesta kebun, sekarang saya bersama yang lain sedang mempersiapkannya."

"…"

"tuan, cepatlah anda pulang, satu jam lagi tuan dan nyonya besar akan tiba." jelasnya lagi dengan suara lembut.

Di bagian taeyong, tampak laki laki itu termenung. Saat ini hatinya dalam kebimbangan, ia belum siap bertemu dengan kedua orang tuanya dalam kondisi seperti saat ini. Bagaimana jika mereka bertanya perihal suaranya?

"Ma-af, a—ku mung—kin…a—kan dat—ang…sedik-it terlam—bat, uhuk." ucap taeyong dengan pandangan matanya yang menatap kosong ke arah langit yang kembali menurunkan butiran salju putih.

"Ta-tapi…"

PIP

Sebelum Haechan mampu menyelesaikan kata-katanya, taeyong lekas mematikan sambungan panggilan di antara keduanya. Sepasang manik sebening kristal itu tampak basah, entah karena terkena tetesan salju atau karena menangis. Diusapnya perlahan tetesan air yang tergenang di area sekitar matanya.

Ia bisa merasakan perasaan bergetar dari dalam tubuhnya, nalurinya berkata bahwa namanya telah tertulis dalam sebuah kertas takdir kematian. Perasaan takut mulai menyelimuti relung hatinya, ia yakin—sangat yakin bahwa umurnya tak lagi panjang. Bahkan ia sempat berpikir—apakah ia bisa menatap hari esok?

Mungkin malam ini adalah malah terakhirnya menapak di bumi, terbayang dalam otaknya gambaran sosok pemuda berambut hitam yang menatap datar ke arahnya. Ah ya jaehyun, pemuda yang tak mampu ia hapuskan dalam ingatannya.

'Apakah malam ini dia sedang berada apartemennya?' batinnya dalam diam seraya masih menatap ke arah langit malam. 'Aku ingin bertemu dengannya, hanya untuk satu detik aku ingin mendengarkan suaranya.'

Hatinya mulai bimbang, antara keinginan hatinya atau batas kemampuannya yang bahkan sudah hampir mencapai garis batas maksimumnya. Namun sebuah keputusan ia ambil, dalam benaknya ia hanya memanjatkan ratusan lantunan doa pada Tuhan, agar pilihannya inilah yang terbaik.

Hurt. - JaeYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang