Three

4.6K 385 12
                                    

.
.
.
.

Dalam sebuah ruangan bertabur cahaya putih terang, terbujur lemah sosok laki laki berambut merah kecoklatan dengan infus yang tertancap pada punggung tangan kirinya. Kedua matanya yang terpejam, perlahan terbuka—menampilkan sepasang manik hijau bening yang redup dan kosong.

Sesaat ia tampak terdiam demi memfokuskan cahaya yang masuk ke dalam matanya, namun tak lama kemudian pandangannya teredar ke sekelilingnya. Tak ada seorangpun yang ia dapati di ruangan ini, semuanya tampak kosong dengan cat putih yang melapisi dinding ruangan. Satu hal yang sudah tercatat dalam benaknya—ia benci ruangan ini.

KRIET

Tak lama kemudian suara ruangan itu terbuka, menampilkan seorang gadis berambut hitam dengan sebuah kantong penuh roti yang ia bawa. Dengan sebuah senyuman ceria dalam kesehariannya, ia kemudian mendudukkan diri pada kursi yang baru saja ia bawa mendekat pada ranjang teman kerjanya sekaligus teman baiknya itu.

"Ch-chan..." ucap laki laki berambut merah kecoklatan itu dengan susah payah, dan pada akhirnya hanya sebuah panggilan tak jelas yang mampu dikeluarkan tenggorokannya.

Pandangannya berubah cemas begitu ia mendapati bahwa ia tak mampu lagi bersuara seperti sebelum-sebelumnya. Namun detik berikutnya, sebuah senyum terukir di wajah pucatnya, ia sudah memprediksi akan hal ini. Sudah beberapa hari terakhir, ia sulit untuk mengeluarkan suaranya untuk bernyanyi bahkan untuk sekedar berucap.

'sepertinya sel kanker pada tubuhku telah menyebar luas.' batinnya mengerti akan kondisinya saat ini.

Sedangkan wanita di sebelahnya, gadis itu masih tampak tetap tersenyum dengan air mata yang tak kunjung berhenti keluar dari kedua matanya. Ia berusaha untuk tetap terlihat ceria seperti kesehariannya bersama gadis merah jambu itu, karena temannya itu pernah berkata jika ia menyukai dirinya yang terus ceria, dan ia tengah berusaha mengabulkannya sekarang.

"Ta-taeyong.. Bagaimana kondisimu sekarang, apakah sudah lebih baik," ucapnya seraya berusaha tetap tersenyum walau air mata tak henti mengalir keluar.

Sejenak tak terdengar jawaban dari Taeyong. Tiba-tiba saja laki laki itu menghilangkan senyumnya dan beraut datar, namun detik berikutnya ia kembali tersenyum ke arah gadis berambut hitam yang dikenalnya bernama Seulgi.

Dengan susah payah ia berusaha berucap kembali, "a—ku, baik-ba—saja." ucapnya dengan ucapan putus-putus dengan beberapa suku kata yang hilang di sana.

"Bagaimana bisa kau berkata begitu sedangkan kau bahkan sulit untuk berbicara?!" ucap Seulgi dengan nada yang naik satu oktaf. Sebuah tatapan kecewa ia layangkan pada Taeyong, dengan air mata yang masih membanjiri wajahnya.

Taeyong—nama laki laki merah kecoklatan itu—hanya terdiam seraya menatap takut-takut ke arah temannya itu. Mungkin untuk saat ini ia masih bisa menyembunyikan perihal penyakitnya pada kedua orang tuanya dan para pelayan yang melayaninya, namun tidak untuk temannya ini. Karena pasti dokter telah menjelaskan perihal penyakit yang ia derita.

Tak sanggup memandang temannya, Seulgi pun menunduk dalam diam, perasaan bersalah akan bentakan yang ia lontarkan, mulai memberi rasa sesak pada rongga dadanya. "Tae, aku ingin bertanya padamu."

"…"

"Sudah berapa lama kau mengetahui penyakitmu?" tanyanya seraya mengepalkan sepasang tangannya hingga menimbulkan bekas kemerahan di sana.

Untuk beberapa saat Taeyong tampak termenung sekaligus mengumpulkan tenaga untuk sekedar berbicara. "Tuj—uh," ucapnya kemudian seraya memberikan isyarat dengan jarinya.

"Tujuh, eh?" ucap seulgi membeo dengan nada yang terkesan sinis.

Namun…

"KENAPA KAU TIDAK PERNAH MENCERITAKAN APAPUN PADAKU?!" Dan detik berikutnya, lepas sudah kendali emosi pada diriseulgi . Bukan atas kehendaknya ia membentak taeyong dengan begitu keras. Ia benar-benar kecewa dengan laki laki di depannya ini.

Tak ada sepatah katapun yang terucap dari taeyong, laki laki itu hanya terdiam dengan pandangan mata penuh penyesalan menatap seulgi yang berada di samping ranjang. Hanya satu yang mampu ia ucapkan, "Maa—f."

GREP

Ia sempat terkejut begitu merasakan sebuah dekapan hangat pada tubuhnya, serta pundaknya yang terasa basah. Tak ada sepatah katapun yang terucap pada bibirnya, ia hanya mengusap pelan punggung temannya itu untuk sekedar menenangkan tangisan sang kawan yang kian terdengar keras.

Taeyong bahkan tak mampu mengeluarkan tangisannya, air mata pun tak kunjung turun meski batinnya saat ini terselimuti duka dan kebimbangan. Jika ada hal yang ia sesali saat ini, mungkin tentang suaranya yang telah rusak akibat penyebaran sel kanker pada tubuhnya.

.

.

.

Di bawah naungan sang purnama yang tergantung di langit malam bersama dengan jutaan gemerlap bintang. taeyong melangkah pelan di atas tumpukan salju tipis bersama dengan seulgi di sampingnya. Tak terdengar sepatah katapun dari keduanya selama dalam perjalanan.

Dalam batinnya—seulgi—sesak dengan penyesalan serta kekecewaan terhadap taeyong. Tak pernah terbanyangkan dalam otaknya jika umur yang dimiliki teman merah kecoklatan nya itu bahkan tak bisa lebih dari sebulan. Kesedihan tentu ia rasakan, namun ia tak mampu menolak kuasa Tuhan atas segala takdir yang tertulis pada setiap manusia.

Sedangkan taeyong, tak ada yang ia renungi selain suaranya yang sudah sampai pada batasnya, serta sang terkasih yang selalu berada dalam hatinya. Bahkan ia tak pernah memikirkan tentang sejauh mana hidupnya. Ia cukup mengerti tentang kondisinya yang ia rasa tidak mampu bertahan walau untuk seminggu ke depan. Namun batinnya menolak, ia masih ingin berada di sini—di dunia—dan melihat kekasihnya untuk yang terakhir kalinya, walau hanya sedetik.

"ya, kita sudah sampai. Kalau begitu, aku pulang dulu, ne taeyong? Jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa hubungi aku," ucap seulgi begitu mereka sampai pada gerbang apartemen sederhana yang ditempati taeyong, walau hatinya tak rela meninggalkan laki laki itu.

taeyong tak menjawab, ia hanya menunjukkan ponselnya dan mengangguk pelan disertai sebuah senyum lemah di bibirnya.

"Kalau begitu—dah..," ucap seulgi dengan posisi membelakangi taeyong. Air matanya kembali terjatuh dan segera ia usap dengan kasar. Diiringi dengan decihan pelan, ia kemudian berlari meninggalkan taeyong yang melambai ke arahnya.

Setelah kepergian seulgi, sejenak taeyong menatap sebuah cincin putih yang melingkar di jari manisnya. Seketika itu pula sebuah senyum sendu terukir di wajah manisnya, tanpa ia sadari setetes cairan bening turun dari matanya, detik berikutnya cairan itu kembali keluar, dan semakin deras.

BRUK

taeyong menjatuhkan tubuhnya dengan posisi bertumpu dengan sepasang lututnya. Senyum itu perlahan pudar, tergantikan sebuah raut tangis dan derai air mata yang membasahi tumpukkan salju tipis di bawahnya. Rasanya ia tak mampu meninggalkan semuanya begitu saja, sekalipun ia sudah berucap 'rela', 'rela' dan 'rela' dalam benaknya, namun hati kecilnya menolak untuk berucap 'rela'

'Jae..hyun.' batinnya memanggil nama sang terkasih yang tak akan pernah datang sekalipun dirinya berteriak hingga menampilkan urat suaranya.

Tak lama kemudian terdengar ponselnya berdering di saku mantelnya. Dengan gerakan bergetar akibat tangis serta rasa dingin yang menusuk tulang ia menjawab panggilan dari seberang sana. Ia memulainya dengan ucapan salam lemah dan terputus-putus.

tbc..
aku apdet niiiii
kangen ga?
sekali lagi aku tanya, sad end or happy end?

Hurt. - JaeYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang