Three years without Aksa

84 9 0
                                    

"Hot news banget sih ini. Parah parah." Dinar menatapku takjub. Gelengan kepalanya tak kunjung berhenti dari awal aku menceritakan pertemuanku dengan Aksa.

Aku mengelus pipi tembam Devi, bayi berumur satu bulan yang lahir dari rahim sahabatku itu. Cakep, mirip ibunya.

"Kamu nggak bener-bener nolak ajakan dia balik kan, Nya?"

"Beneran lah. Ngapain aku main-main? Kita udah gede sekarang. Kamu aja udah punya bayi."

"Yee, beda kali. Semua cewek satu sekolah juga tau gimana bucinnya Aksa dulu sama kamu. Pacaran langgeng sampe setahun padahal sainganmu satu sekolahan," cerocos Dinar seolah hubunganku dengan Aksa sehebat itu.

"Lebay ah," aku memutar bola mataku, "Justru itu yang bikin aku khawatir. Dia cuma masih kebawa cinta monyet waktu tau aku ternyata satu kampus sama dia. Lagian kalo dia bener-bener masih..ehm masih mau sama aku, nggak mungkin nggak nyari tau kuliahku dimana. 3 years is not a short time."

Dinar membalas, "Ya gimana nggak tau kalo kamu blokir nomernya, ganti akun medsos, bahkan nggak ngisi laporan aktivitas pasca kelulusan dari BK. Parah bener si."

"Kenapa ngga nyari ke rumah? Tanya sama Airin atau Juna? Tanya kamu? Emang udah bubar kita tuh," putusku dengan cepat.

Dinar menyipitkan matanya menatapku, "See? Masih ngarep juga kan?"

Aku melotot, "Enak aja, engga ya."

Dinar tertawa kecil, "Heran ah aku sama kalian berdua. Ngakunya sih udah gede tapi masih sama kayak dulu."

Tak ingin memperpanjang debat, aku memilih fokus bermain dengan Devi. Bayi yang lahir setelah satu tahun pernikahan Dinar dan Rangga. Sayang, Rangga nya Dinar tak secakep Nicholas Saputra. Dia berwajah kocak yang hobi menghibur orang dengan lawakannya. Padahal kerjanya sebagai teller bank harusnya kalem, ramah, dan bersahaja. Tapi beruntung sih cowok itu, setidaknya dia bisa jadi suami yang sabar buat Dinar yang super baper kala satu tahun tak juga dapet momongan.

Hari ini aku main ke rumah Dinar sekaligus memenuhi undangan ulang tahunnya yang dirayakan kecil-kecilan bersama keluarga dan beberapa sahabatnya.

Setelah ngobrol di kamarnya itu, aku pamit keluar untuk membantu Ibu Dinar yang tadi memintaku untuk menggoreng kentang. Aku si penyuka aktivitas bernama menggoreng pun menerimanya dengan antusias.

Aku yang memang kenal dekat dengan Tante Rita karena dari SMP sering main ke rumah Dinar, ngobrol seru sambil berkutat di dapur.

"Oo..jadi beneran diajar sama Sugiono. Dia dulu teman satu SMA sama Tante," cerita Tante Rita saat mengetahui Pak Sugiono jadi dosenku di semester 2 dulu.

"Iya, Tante. Baik banget orangnya. Kalau ngajar bisa sabar dan jarang ngasih tugas. Hehe."

"Wah masih sama sabarnya kayak dulu," Tante Rita mendekat ke arahku, "Kalau aja dulu dia nggak kuliah ke Australia, Tante udah nikah sama dia."

Aku terkejut, "Beneran, Tante?"

Tante Rita tertawa kecil.

"Tante pengen nikah cepet habis lulus SMA, makanya waktu dijodohin sama Ayahnya Dinar, yaudah langsung terima. Nikah muda Tante juga ternyata diikuti sama Dinar. Udah dibilangin kerja dulu, eh malah ngotot mau nikah. Katanya biar nggak maksiat sama si Rangga," tuturnya panjang lebar.

Aku mengangguk setuju. Kalau dilihat dari sayangnya Dinar ke Rangga yang 3 tahun lebih tua itu, nggak percaya kalau cewek itu nggak bakal macem-macem. Udah cinta mati pokoknya.

"Kamu gimana? Udah ada rencana mau nikah?" Tanya Tante Rita blak-blakan.

Aku mengibaskan tangan, "Belum ah Tante. Doain skripsi Anya lancar trus kerja dulu. Airin sama Juna biar bisa kuliah kayak Anya, hehe."

Simple Past MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang