Four angles in FK

72 9 0
                                    

Setelah tiga tahun, ini kali pertamaku menjejakkan kaki di fakultas paling dipandang elit oleh satu kampus. Fakultas unggulan yang bahkan punya lift sampai 10 lantai. Walaupun lokasinya di paling ujung barat, tetap tak mengurangi eksistensi gedung mewah yang identik dengan warna hijau itu.

Satu-satunya alasan mengapa aku tidak pernah ke fakultas calon dokter ini, ya karena aku tidak punya kepentingan di dalamnya. Namun setelah tau kalau Aksa kuliah disini, justru malah ada aja momen dimana aku berada disini. Seakan membuktikan kalau ucapan Alwi salah, aku mengiyakan ajakannya ke FK. Mau ketemu Aksa kek, bodo amat. Pokoknya aku harus mematahkan dugaan Alwi kalau aku nggak mau ke FK gara-gara mantan.

"Tumben banget sih Pak Darman minta dianterin buku ke FK?" Gumamku saat turun dari boncengan motor Alwi.

Cowok itu ikut turun dan mengambil buku-buku, yang tadi kumasukkan ke dalam totebag kecil, dari genggamanku.

"Heran juga. Apa kepentingan dosen bahasa Inggris di fakultas penuh motor-motor keren ini?" Alwi memandang parkiran basement dengan kepala takjub.

Nggak seperti parkiran motor di gedungku yang sampai membludak akibat massa motor yang sering diparkir sembarangan karena balapan sama dosen yang masuk kelas. Parkiran basement FK ini rapi, dan lumayan banyak space kosong. Mungkin beberapa mahasiswa nya lebih memilih naik sepeda untuk kampanye cinta lingkungam atau kalau kaya, ya bawa mobil sekalian. Aksa contohnya.

Aku mengusir bayang-bayang cowok itu dari kepalaku. Udah cukup DM nya menumpuk dan kubiarkan tanpa dibaca sejak pertemuan di kedai minum waktu itu. Untung juga Dinar kuwanti-wanti untuk tak menyebarluaskan nomor wasapku tanpa izin ke Aksa. Jaga-jaga aja kalau dia menghubungi Dinar.

"Habis nganter ke Pak Darman, cobain makan di kantinnya FK yuk, Nya," ucapnya saat kami naik lift dari basement ke lantai 5 dimana Pak Darman, dosen pembimbing Alwi itu, menunggu.

"Ngga. Dah kenyang."

Alwi meledekku, "Jutek amat, Nyai. Yakin nih nggak ada mantan disini?"

"Uda kubilang berapa kali sih?" Gemas, kupukul kepala Alwi dengan salah satu buku yang dibawanya.

"Woi kekerasan rumah tangga nih." Alwi mencoba menghindar. Dia jelas-jelas senang berhasil membuatku marah.

Entah dia cuma ngawur soal mantan atau memang dia beneran tau. Tapi darimana sih? Asalnya juga dari Jawa Timur, mana tau soal masa SMA ku dengan Aksa.

Pak Darman terlihat sumringah saat Alwi menyerahkan buku yang hijrah dari kantor dosen bahasa Inggris sampai ke FK ini. Beliau juga berterimakasih padaku walau kuyakini pasti, namaku terlupakan.

"Langsung pulang nih?" Tanya Alwi sambil membenarkan rambut keritingnya di kaca lift.

Aku menarik lengan kaosnya, memperingati mulutnya biar nggak ngomong keras-keras. Kalau tadi pas ke atas liftnya cuma diisi kita berdua, kali ini liftnya lumayan penuh. Ada 5 orang mahasiswa kedokteran yang berdiri di lift dengan tenang. Dengan penampilan yang rapi dan bersih, mereka terlihat cocok jadi calon dokter. Pantes kalau Alwi dandan maksimal sebelum sampai di sini, pasti dia mau ngecengin cewek-cewek calon dokter ini.

Alwi masih sibuk membenarkan penampilannya di kaca lift sampai kami sempurna ada di lantai bawah basement.

"Emang kamu pernah makan di kantin sini, wi?" Tanyaku penasaran saat melangkahkan kaki keluar lift.

"Ho oh. Beberapa kali sih. Yakin, Nya. Chicken steaknya juara."

Aku berpikir sejenak. Udah lewat jam makan siang, sih. Dan aku belum sarapan juga tadi pagi. Mendengar cerita Alwi soal menu di kantin FK yang pastinya ngga menu ecek-ecek, membuatku tergiur juga.

Simple Past MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang