11. Celah

361 30 5
                                    

Shani selalu berusaha memiliki kesempatan hanya berdua dengan Gracia. Ia benar-benar ingin sekali memastikan perasaan gadis itu terhadapnya.

Seperti malam ini, tumben sekali Gracia belum pergi tidur. Shani terheran, namun ia merasa ini adalah kesempatan bagus. Ia menghampiri Gracia yang entah sedang apa di dapur. "Belum tidur?"

Gracia berbalik menatap Shani. "Kamu masih liat aku berdiri sambil buka mata kan? Apa aku keliatan lagi tidur? Ya belum lah!"

Shqni berdecak. "Galak amat sih! Ngomong biasa aja bisa, kan? Padahal aku nanya baik-baik."

"Gak tau! Ngomong sama kamu bawaannya pengen marah-marah terus." ketus Gracia.

Dari pada meras kesal, Shani malah terkekeh. "Ke belakang, yuk. Ngadem. Biar otak kamu gak kepanasan." Ia menarik tangan Gracia yang tak menolak.

Gracia mengedarkan pandangannya saat mereka berada di belakang halaman rumah. "Serem tau."

"Serem apanya sih? Cuma ada kolam ikan, tuh ditengahnya ada air mancur satu jalur, pohonannya juga gak banyak, ada ayunan kayu. Desain taman minimalis. Bagus, tau." jelas Shani. "Sini duduk." Ia mengajak Gracia duduk diayunan kayu.

"Kamu sering disini malem-malem?" tanya Gracia. Nada suaranya sudah tak sengegas sebulumnya. Shani mengangguk. "Sendirian?" Shani mengangguk lagi. "Gak takut?"

Shani menoleh menatap Gracia. "Takut apa sih? Orang gak ada apa-apa kok."

"Ya kan malem-malem." Gracia membalas tatapan Shani. "Oh iya ya. Mana mau setan gangguin kamu, setan bakal kesel gangguin orang nyebelin kayak kamu." ledeknya.

Shani terkekeh. "Kamu setan juga dong?" balasnya mengingat perkataan Gracia yang selalu mengatakan bahwa dirinya menyebalkan.

Gracia memukul lengan Shani. "Enak aja!"

Mereke terkekeh bersamaan. Kemudian, perlahan Shani menggenggam telapak tangan Gracia. "Aku serius tentang ajakan waktu itu."

"Hah? Kapan? Tentang apa?"
Sebenarnya Gracia paham, ia hanya berpura-pura lupa agar Shani mengatakannya lebih jelas dan meyakinkannya lagi.

"Aku mau, kamu jadi pacarku." ujar Shani dengan pandangan penuh harap.

"Kalo aku gak mau, gimana?" kemudian Gracia terkekeh.

Shani melepas genggaman mereka untuk menopang lehernya dengan dua tangan. "Tergantung jawabannya. Beneran gak mau, atau, gak mau tapi sebenernya mau."

Gracia menatap langit yang gelap bertabur sinar-sinar kecil bintang. "Kalo beneran gak mau?"

"Aku gak akan maksa."

Hening sejenak.

Gracia menatap Shani. "Kalo sebenernya aku mau, tapi bilangnya gak mau?" dan tersenyum sedih ketika Shani memejamkan matanya.

"Ya... aku gak akan maksa juga." Shani terkekeh.

Gracia menoyor kepala Shani. "Gimana aku bakal mau, kamunya gak ada usaha." Ia mengerucutkan bibirnya.

"Kalo udah capek-capek usaha tapi akhirnya ditolak sih, mending mundur dari awal sekalian."

Gracia menangkap lirikan sekilas dari Shani. Ingin sekali terus menanggapi kalimat lelaki tersebut, tapi entah kenapa rasanya malas. Ia ingin menghindari sikap menyebalkan Shani kali ini.

"Kak Vino nembak aku..."

Shani sangat terkejut, tapi ia mencoba biasa saja.

"...tapi belum aku jawab. Bingung." Gracia menutup wajahnya. Tentu saja ia berbohong. Ia hanya ingin melihat reaksi Shani saat tau seandainya ada lelaki lain yang mendekatinya.

Shani menegapkan kembali duduknya. "Jangan." lirihnya.

"Jangan apa?"

"Seenggaknya. Kalo kamu gak mau sama aku, kamu juga jangan mau sama kak Vino."

Gracia menangkup pipi Shani agar menghadapnya. "Emang kenapa?"

Shani ingin menghindari tatapan Gracia, namun ditahan oleh gadis tersebut. Jadi, ia hanya menunduk. "Kak Vino itu kakak kelasku, aku juga deket sama dia. Sedih gak sih, cewek yang kita suka malah deket sama temen kita?"

"Kamu cemburu?"
Diam-diam Gracia menahan senyumnya. "Aku sama kak Vin-"

Cup!

Shani mengecup singkat bibir Gracia yang mengerjap. "Kalo lagi sama aku, jangan ngomongin lelaki lain." lirihnya. "Terserah, mau kamu juga suka sama dia, mau kamu udah punya pacar, atau bersuami sekalipun. Kalo ada aku, jangan bahas yang lain. Aku-"

Celotehan Shani terhenti karena Gracia menempelkan kembali bibirnya pada bibir Shani. Jelas saja Shani tak menolak. Barusan ia meminta seseorang memusatkan segala perhatian hanya untuknya, dan Shani mendapatkannya.

Shani menarik pinggang Gracia agar lebih mendekat padanya. Ia memeluk gadis tersebut dengan posesif. Melumat bibirnya penuh sayang.

Shani melepaskan ciuman mereka. "Jadi, kamu mau?" tanyanya membuat alis Gracia terangkat. "Kita pacaran."

Tanpa melepas rangkulannya di leher Shani, Gracia menggeleng sambil tersenyum kecil. "Kamu ganteng. Pasti banyak yang suka."

Shani berjengit. "Harusnya kamu bangga dong, punya pacar ganteng."

"Aku gak yakin kamu gak akan macem-macem."

"Aku emang gak akan macem-macem."

"Aku cantik gak?" tanya Gracia tiba-tiba. Shani mengangguk jujur membuat Gracia tersenyum. "Di luar sana, banyak lebih-lebih dari aku, dan kita gak tau kedepannya apa yang akan terjadi. Kamu di Jogja, aku di Jakarta. Aku-" ia tercekat kalimatnya sendiri.

Shani tersenyum getir. "Kamu anti LDR?" lalu menarik Gracia ke pelukannya.

"Bisa dibilang begitu." Gracia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Shani.

Jelas sudah. Shani menghela napas. Ia lega karena sudah mendapat jawaban Gracia atas pernyataannya. meski jujur saja, ia kecewa karena ditolak.

***

Di dalam rumah pada waktu yang bersamaan. Vino melihat siluet dua orang yang sedang duduk diayunan halaman belakang rumah dari balik jendela.

Vino berdecak kesal pada dirinya sendiri. "Harusnya gue milih rebahan aja." lirihnya menyesal setelah melawan rasa malasnya untuk mengambil minum di dapur karena haus.

Ya. Jadi, sejak beberapa saat ketika Shani dan Gracia beranjak ke halaman belakang. Vino berdiri ditempatnya, mengintip kedua orang tersebut bagai lenguntit. Termasuk adegan berciuman mereka.

Vino menghela napasnya lelah. Hatinya teriris, namun bibirnya tersenyum hampa. "Oke." lirihnya.

***

ILY~🖤
ILY~💞

Rahasia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang