Chapter 4

45 4 1
                                    

Hanya seorang Penulis Amatir!!
*
*
*
*

William menatap pemuda dihadapanya dengan tatapan jengah "Kau membuatnya kacau."

Sedangkan pemuda yang ditatap mendengus "Aku tau."

William menatap tuannya sambil tersenyum "Kau membuat kami semua khawatir, menghilang ketika sedang mengadakan rapat benar-benar sangat tidak sopan."

Agra terkekeh "Itu bukan keinginanku tapi keinginan tubuhku." Agra bangun dari singgasananya, pemuda itu menatap William "Gadis itu----"

"Hormat saya yang mulia." Seketika seseorang muncul dihadapan Agra, menunduk hormat.

William menatap Dedi sambil tersenyum sedangkan Agra, pemuda itu kembali duduk disinggasananya ia menatap Dedi dengan wajah malasnya.

"Ada yang ingin kau sampaikan? Hingga dengan tidak sopannya menyela ucapanku." Ketus Agra.

Dedi menggaruk tengkuknya "Maaf yang mulia, saya datang kemari tidak ingin mengg--"

"Kau tau aku seseorang yang tidak suka berbasa basi." Sela Agra masih dengan wajah datarnya.

William menatap tuannya itu sambil menggelengkan kepalanya, "Mengapa kau datang kemari? Apakah ada yang ingin kau sampaikan?" Tanya William

Agra menyentil lengan kiri William membuat pemuda itu terdorong beberapa senti "Kau benar-benar bodoh, Wil."

William menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pria itu tak bisa bayangkan jika tuannya menyentilnya dengan kekuatannya membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya merinding apa lagi sampai terjadi.

Dedi menatap Tuannya dengan William yang masih asik mengoceh seakan melupakan kehadirannya.

"Maaf yang mulia, kedatangan saya kemari ingin mengatakan bahwa dunia Immortal saat ini sedang terguncang, warga saling menangis bahkan berpelukan." Sela Dedi, masih menunduk.

William menatap Dedi dengan keningnya yang berkerut "Apa maksudmu?"

"Seseorang yang dicari-cari telah kembali."

Pria bermanik mata coklat itu mengerutkan keningnya, ia menatap tuannya yang tampak biasa biasa saja seakan apa yang baru saja diucapkan Dedi hanya sebuah pidato singkat.

"Apa maksudmu?" William masih tak paham.

"Kunci dunia Immortal telah kembali, kunci kedamain."

Pria itu masih mengerutkan keningnya tanda bahwa ia masih tak paham. Sedangkan Agra mendengus kesal ketika mengetahui tangan kanannya itu benar-benar begitu bodoh dalam memahami sebuah ucapan.

"Dia telah kembali dari tidur nyenyaknya, Will. Seseorang yang akan menjadi kedamain dunia Immortal, seseorang yang akan menyelamatkan dunia Immortal." Jujur Pemuda itu malas untuk harus berbicara panjang lebar seperti sekarang, namun karena William yang sedari tadi masih tak paham membuatnya mau tak mau harus menjelaskannya.

Pria itu menatap tuannya "Lalu?" William menaikan alisnya.

Agra cengo ketika mendengar balasan pria disampingnya itu, ia menggepalkan tangannya siap menonjok wajah bodoh di sampingnya, pemuda itu berdiri dari singgasananya dan memilih meninggalkan kedua pria didalam sana.

Dedi berusaha untuk tidak tertawa ketika mendengar jawaban William yang benar benar bodoh "kau benar benar sangat bodoh, Will." Dedi pergi meninggalkan William yang masih mengerutkan keningnya.

"Apa yang salah dengan ucapanku? Jika Dunia Immortal saat ini terguncang lalu apa sangkut pautnya dengan tuanku dan juga mereka disini?" William menggelengkan kepalanya.

****

Aluna mangut-mangut saja ketika mendengar ucapan Alex, bahkan otaknya sekalipun tak mengingat apa semua yang saat ini pemuda itu jelaskan tentang jati dirinya, masuk telinga kanan keluar telinga kiri itulah yang Aluna lakukan.

"Hoam." Bagas menguap "Apa kita akan bermalam dihutan?" Pemuda itu menatap ketiga temannya yang serempak sedang menatap Aluna.

"Tidak, kita akan kembali ke Academy."

Bagas menatap Ando dengan tatapan tak percaya "Serius?"

Pemuda itu menggangguk "kita tidak punya pilihan lain, bukan?"

"Academy?" Aluna menatap keempat pemuda dihadapannya "Itu sekolah?" Tanya Aluna.

Bastian menggangguk, pemuda itu tau bahwa saat ini Aluna sedang takut "Kami akan menjagamu, kau ingat? Kami berempat sudah mengapdi kepadamu." Ia tersenyum menyakinkan Aluna.

Gadis itu menghela napasnya gusar, apa yang terjadi selanjutnya dengan dirinya? Membayangkannya saja sudah membuat dirinya sendiri meringis.

"Jadi, kapan kita akan perg--" Aluna tersentak kaget ketika ia merasakan kakinya sedang dipeluk oleh anak kecil setinggi perutnya.

Aluna menatap keempat pemuda yang juga sama terkejutnya dengannya ketika melihat anak kecil yang saat ini sedang memeluk kakinya erat.

Alex segera menghampiri anak itu, sedangkan Aluna memalingkan wajahnya, "Hei?" Alex menunduk berusaha menyamakan tinggi badanya dengan anak  kecil itu dan menatap anak kecil itu yang menatapnya dengan air mata yang masih mengalir.

"Pa-p-p-a dan Bunda." Ia kembali menangis, anak itu langsung beralih memeluk Alex "Aiden takut." Suaranya gemetar.

Aluna menatap Alex yang sedang dipeluk oleh anak kecil yang beberapa detik tadi memeluk kakinya, ia menatap Bastian membuat pemuda itu segera berjalan kearah Alex. 

Alex yang tak tau cara meredakan tangis seorang anak menatap Aluna dengan wajah memelasnya. Aluna menghela napas, ia menunduk membuat Alex tersenyum dan menatap anak kecil yang juga sedang menatapnya "Apa kau mau memeluk wanita disampingmu itu?"

Aiden beralih menatap Aluna, manik mata merahnya menatap manik mata biru Aluna "Bu--bu-nda?" Ia menatap dalam manik mata Aluna, sedangkan Aluna juga melakukan hal yang sama.

Anak itu memeluk Aluna erat "Aiden kira bunda udah pergi." Aiden menangis, Aluna menegang apa maksud anak ini? Bunda? Apa dia tidak salah dengar? Anak dipelukannya ini mengatakan bahwa ia adalah bundanya?

Aluna menatap Bastian yang sedang memegang baju Aiden, wajah pemuda itu mengeras "Pemberontak." Ia menatap Aluna yang masih mengerutkan keningnya tangan kanannya terulur mengelus lembut punggung Aiden yang masih terisak dipelukannya.

"Semenjak peperangan itu, para pemberontak mulai melakukan pembantaian dimana mana." Bastian menghela napas "Dan kaum anak ini dibantai beberapa jam yang lalu." Tangannya terulur mengelus rambut Aiden "Dia yatim piatu sama sepertimu, na." Bastian tersenyum ketika Aluna menatapnya.

"Dia mengatakan Bunda, apa maksud anak ini?" Aluna menatap Bastian yang masih tersenyum.

"Kau mirip dengan bundanya, warna matamu." Bastian berdiri, pemuda itu berjalan menjauhi Aluna.

Aluna menegang, ia menatap Aiden yang sudah tidak menangis tangan anak itu terulur menyentuh wajah Aluna "Bu-bunda."

Aluna menghela napas "Aku bukan bundamu." Wajah Aiden tegang namun ia tersenyum ketika mendengar lanjutan ucapan Aluna.

"Tapi kau boleh memanggilku Bunda."

****

TBC

THE EREOSTIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang