Kau yang tak pernah sendiri, tapintak pernah denganku.
Aku yang selalu sendiri, tapi selalu menjiwaimu.
Telah mengajarkanku sebaik-baiknya cara memperlakukan rindu.
Ialah...
Membebaskanmu.
Dari diriku sendiri.
Jadi, harus seberapa tabah aku menghadapi hati sendiri? Ialah, menunggu dan merindu dengan setia, sementara kamu mencandui tubuh-tubuh wanita yang bukan aku.
Berapa telah kusiapkan diri untuk menderita, semenjak kucintai kamu sedemikian gila.
Sejak kamu mengalirkan indahmu ke dalam darahku, aku tahu, selamanya kamu akan menjadi roh dalam setiap tulisanku.
Untuk segenap rindu yang tak terucap, aku ingin kau tahu, berapa jarak yang kau bentang tak cukup kuat untuk mengikis keberanianku dalam menunggu.
Lalu, pada detak yang keberapa, kamu akan hidupkan namaku di hatimu?
Menatap matamu, barangkali, adalah cara terbaik untuk menyesap surga tanpa kau harus meninggalkan dunia.
Aku menuliskanmu. Lalu, menuliskanmu. Hingga, nanti, yang meniadakanmu adalah tulisanku sendiri.
Perasaan ini tak bisa disalahkan. Karenanya, aku kini terus-menerus berpikir, layakkah kamu memiliki cintaku yang terakhir? Benarkah padamu aku mesti tertakdir?
Terima kasih telah datang dengan degup jantung yang menjelaskan, ke mana semestinya aku pulang.
Seribu getar dan derubrinduku padamu kini menikam pura-pura dan menyesakkan aku, namun kau tak tahu. Tak usah.
Tetaplah menjadi kamu yang jangan sempurna. Aku ingin kamu sepenuh adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bias Rindu
Teen FictionAku sudah cukup banyak belajar, termasuk belajar membiarkan waktu menjalankan tugasnya sebagai penyembuh rasa duka dan kecewa. Sebab, memaksakan diri untuk pulih dengan tergesa-gesa, ternyata hanya memperparah lara yang sudah ada. Sepenuhnya, kini a...