3. Siapa Dia?

348 138 93
                                    

Semilir angin masuk melalui celah-celah rongga kayu. Membujuk mata agar terpejam di detik itu. Siang yang terik sangat cocok untuk berlayar ke pulau kapuk. Namun, deretan angka dan rumus-rumus yang di tuliskan Bu Arini di papan putih memaksakan mata dan otak agar tetap fokus atas penjelasannya. Matematika di jam terakhir memanglah menguras segalanya. Tapi, bu Arini membolehkan murid-muridnya memakan permen asal bukan permen karet atau permen yang memiliki tangkai. Saat sedang menjelaskan, ponsel milik bu Arini berdering. Lalu, bu Arini keluar untuk menjawab. Kesempatan ini di gunakan Angga untuk menemui Kenari.

"Ken."

"Ngapain disini?" tanya Kenari cemas, pasalnya takut jika tiba-tiba bu Arini datang.

"Ken, maaf banget nanti nggak bisa bareng, padahal aku udah janji," ujar Angga bersalah.

"Memangnya mau kemana?"

"Setelah pulang sekolah ada perkumpulan ketua dan anggota basket."

"Yaudah nggak apa-apa, nanti aku naik angkot seperti biasa," kata Kenari meyakinkan.

"Yang bener?"

"Iya Anggara, udah sana balik ke tempat!" Angga menuruti dan menit itu juga Bu Arini masuk ke kelas.

~•~

(Kenari POV)

Detik yang di tunggu telah tiba. Murid-murid berhamburan keluar. Kini, aku berjalan sendiri ke arah gerbang. Tepat di depanku dua orang beda tingkat yang mana itu adik kelasku sedang bergandeng tangan mesra. Jarakku dengan mereka hanya 60 cm. Jadi, aku bisa mendengar percakapan mereka.

"Nanti makan baksonya semangkok berdua aja ya?" pinta si cowok.

"Iya sayang, kamu so sweet banget sih," jawab si cewek dengan nada manja.

"So sweet atau nggak punya duit?" batinku.

Ketika sudah keluar dari gerbang, banyak murid yang memadati pinggiran jalan membeli jajanan. Entah itu siomay, es doger, ataupun yang lain sesuai keinginan perut dan isi kantong. Namun, ada juga yang menunggu jemputan di bawah pohon asem setinggi 10 meter. Tak lupa suara klakson motor saling bersautan tak sabar meminta jalan.

"Ken, bareng yuk!" ajak Arca untuk menaiki mobilnya.

"Terima kasih buat ajakannya. Tapi, aku naik angkot aja."

"Yaudah gue duluan. Hati-hati ya lo! Bye," ucapnya sambil melambaikan tangan.

Setelah berjalan 100 meter dari sekolah, aku berdiri di depan jalan lintas kota untuk menyebrang ke arah halte bus. Tak biasanya halte ini sepi. Alhasil, aku sendiri disini. Kegiatanku hanya menatap ke arah datangnya angkot. Ya, aku di halte bus namun aku naik angkot.

15 menit berlalu...

Mesin- mesin motor yang di gembor-gemborkan, gelak tawa, atau obrolan ringan pulang sekolah sudah tak kudengar. Hanya deru mobil- mobil pribadi atau truk sesekali lewat. Aku mulai jenuh. Ponselku sudah lowbat sejak istirahat tadi.

Rasa jenuh menjelma gelisah tatkala dahan pohon menari mengikuti ritme angin mengiringi gumpalan-gumpalan awan kelabu. Benar saja, rintikan dari langit mulai membasahi tanah di kota ini. Kulihat seorang ibu pejalan kaki mulai menghampiri halte untuk berteduh karena rintikan semakin menjadi.

"Numpang neduh ya mba."

"Silahkan bu, ini kan tempat umum."

Kueratkan pelukan tas di dada guna tuk menghilangkan rasa dingin yang menjalar ke setiap inci nadi. Aku kemudian menggeser dudukku dari arah utara ke arah selatan memunggungi ibu barusan.

Lengkungan bulan sabit di bibirku muncul tatkala mata menyorot mobil berpintu satu di sebelah kiri mulai menunjukkan batang besinya. Reflek aku berdiri. Tapi, ibu berkerudung ungu tadi menghentikanku.

"Ini punya mbak ketinggalan," katanya sambil menyodorkan sweater berwarna biru langit.

"Bukan punya saya bu."

"Barusan ada cowok pakai mantel hijau naruh disini. Lalu, beri isyarat katanya buat mbak."

"Oh, iya bu terima kasih."

Aku terima saja sweater itu, masalah pengirimnya belakangan. Yang utama aku bisa segera pulang.

~•~

Sesampainya aku di rumah, ibu belum pulang dari butik. Kuputuskan untuk ke kamar dan mengganti pakaian. Setelah itu, kupandangi sweater biru langit yang berhias awan putih di bagian dadanya. Aku merogoh bagian dalamnya dan menemukan sobekan kertas.

Hujan, kau nakal sekali membuatnya kedinginan. Cukup kau saja yang dingin, kenari jangan!

Bingung. Kata itu cocok sekali untukku. Kenapa dia tau namaku? Siapa dia? Kenapa melakukan ini?
Arghh, aku tak tahu. Yang jelas kepalaku mulai berdenyut.

"GoDrink, punten!"

"Iya sebentar!" teriakku dengan berlari kecil untuk membuka pintu.

"Ini mbak pesanannya," kata babang GoDrink dengan menyodorkan kantong plastik.

"loh, saya nggak pesan apa-apa."

"Ini sudah di bayar dan di tujukan untuk mbak."

"Oh, terima kasih."

Setelah kepergian babang GoDrink, aku langsung duduk di kursi dan membukanya.
Lalu, menemukan bandrek susu.

"Dari siapa lagi ini? Tapi, rezeki jangan di tolak Ken," gumamku pelan.

Kembali kudapati potongan kertas di dalam kantong plastik.

Dariku untukmu sebagai penghangat. Maaf, aku membingungkanmu. Besok kau akan tau siapa aku. Tapi, aku tak janji.


~•~

#Dirumahaja

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ke mana Langkahku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang