HOME

364 59 18
                                    

Dengan semua yang Sean punya ia bisa saja membeli segalanya. Ia dapat membeli mimpinya untuk menjadi seorang pemusik.

Tapi ia berjuang dari nol tanpa bantuan uang sedikit pun dari keluarganya. Ia sangat menyukai alat musik bersuara merdu itu. Ibunya selalu menyanyikan lagu-lagu kesayangannya dengan iringan alat musik itu, Piano. Dahulu rumahnya selalu hangat dengan senyum dan celotehan sang ibu. Ayahnya juga sering tersenyum saat itu.

Sean mulai bermain piano sejak berumur lima tahun. Saat itu setiap kali ia berhasil memainkan piano orang tuanya akan bertepuk tangan dan memeluknya. Ia adalah sosok yang sangat kompetitif.

Ayahnya akan mengatakan jika ia jenius dan ibunya akan mengatakan ahhh.. itu anakku.

Perasaan bangga itu mulai memudar saat Sean menjadi semakin bernafsu mengejar impiannya. Ia tak hanya ingin dikenal di keluarganya saja tapi ia ingin dikenal oleh seluruh dunia karena kemampuannya.

Ibu Sean waktu itu pernah berkata padanya apakah Sean akan terus mengejar mimpinya? Karena selain pemusik ia juga seorang anak dari ayahnya. Ia adalah pewaris Xiao Grup. Sudah saatnya Sean berhenti dan mulai membantu ayahnya. Sean tak bisa melepas tanggung jawabnya sebagai seorang Xiao begitu saja. Jika bukan dia yang meneruskan, maka siapa lagi.

Sebagai seorang pemuda yang masih penuh dengan ambisi Sean tak menghiraukan perkataan ibunya. Ia terus maju mengejar mimpinya dan menolak permintaan orang tuanya.

Ayah Sean sempat mengatakan pada Sean untuk bisa membagi waktu antara hobi dan tanggung jawabnya. Namun Sean muda itu justru marah pada ayahnya dan menganggap jika sang ayah tidak lagi menyukai permainan pianonya. Ia menganggap ayahnya sebagai penghalang untuk mengejar cita-citanya.

Sean muda tak menghiraukan lagi sekelilingnya. Hidupnya dipenuhi oleh latihan dan latihan. Ia juga tak memperhatikan fisik ibunya yang mulai mengurus dan mulai jarang menemaninya.

Sean terus berlatih siang dan malam. Ia jarang kembali ke rumah. Sean jarang bertemu dengan orang tuanya  maupun sekedar menghubungi mereka. Sean menjadi orang yang berbeda karena ambisinya itu. Sean bukan lagi anak yang hangat tapi ia sudah dipenuhi oleh ambisi. Ambisi itu sudah membutakan dan menulikan dirinya. Ia tak lagi melihat kesedihan orang tuanya, ia juga tak lagi mendengar nasihat ayah maupun ibunya.

Jemarinya menari dia atas tuts piano dengan cepat. Ia memainkan beberapa lagu setiap latihan. Awalnya ia hanya akan memainkan lagu seperti Piano Sonata no. 21 di B minor, Turki Maret, Nocturne, Op 9 dan Moonlight Sonata. Dan akan diakhiri dengan permainan apik dari Sonata piano Mozart.

Sean juga mengambil kuliah di Julliard New York secara diam-diam untuk mengasah kemampuannya dan keluar dari Harvard. Ia bertengkar hebat dengan ayahnya saat mengambil keputusan itu karena ayahnya lebih menginginkannya untuk bersekolah di Harvard supaya ia siap untuk mengambil alih perusahaan.

Saat itu ibunya menjadi penengah dan menenangkan Tuan Xiao,ayah Sean. Mereka akhirnya menyetujui pilihan putra mereka satu-satunya itu walaupun dengan berat hati. Mereka tak ingin mencuri kebahagiaan Sean. Sean yang saat itu masih penuh ambisi akhirnya tersenyum penuh kemenangan.

Ia mengikuti berbagai kompetisi dan tampil dalam berbagai acara. Ia semakin jauh dari keluarganya. Sean tak pernah merasa puas. Ia tak lagi menemukan kebahagiaan dalam bermain piano.

Sampai suatu ketika ia harus berdiri diam terpaku di depan abu sang ibu. Sean sama sekali tak mendapat kabar kematian ibunya. Ayahnya tidak menghubunginya sama sekali. Orang yang sangat berharga itu kini hilang. Sean menyalahkan ayahnya untuk itu semua. Walaupun pada akhirnya ia tahu jika itu ulah manajernya. Ia tak mau menganggu jadwal Sean dan merusak penampilan Sean untuk kompetisi itu dengan berita tentang ibunya yang sakit dan bahkan saat kematian ibunya.

My Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang